Thursday, September 18, 2008

Manajemen Team Work

Pada abad 21, yakni abad tim kerja dan membangun kerja tim dalam bingkai globalisasi dengan kebutuhan dan persaingan yang semakin kompleks dan cenderung menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Maka untuk dapat bertahan pada era globalisasi tersebut kita harus memiliki kekuatan yang lebih dari saat ini, dengan besarnya kebutuhan yang semakin meningkat dan ketatnya persaingan, kita tidak cukup mengandalkan kemampuan diri kita sendiri yang memiliki keterbatasan ini.
Kekuatan itu antara lain adalah kerja kolektif dengan orang lain di luar diri kita dalam menjalankan suatu tugas untuk mendapatkan hasil lebih baik lagi, kerja sama itu sering di kenal dengan istilah TEAM WORK.
Team Work berasal dari bahasa asing terdiri dari dua suku kata Team dan Work. Tim adalah sekumpulan orang berakal yang terdiri atas dua, lima, hingga dua puluh orang dan memenuhi syarat terpenuhinya kesepahaman sehingga terbentuk sinergi antar berbagai aktifitas yang dilakukan anggotanya. Work(kerja) adalah kegiatan yang dijalankan oleh tiap individu yang telah terpenuhinya syarat kesepahaman di dalam tim itu sendiri.
Dalm buku ini Tim dikelompokan menjadi dua, pertama disebut co-acting, kedua disebut interacting.
Dalam tim co-acting, semua individu anggota tim bertindak secara independent dari yang lain. Kerja keras kolektif adalah hasil dari kerja keras individu anggotanya. Contoh dalam dunia olahraga adalah renang, golf, dll.
Adapun tim yang interacting, semua anggota tim berperan aktif dalam merealisasikan tujuan-tujuan bersama yang menjadi focus tim. Contoh dalam dunia olah raga adalah permainan sepak bola, basket, dll.
Urgensi Team Work
Tim adalah media agar setiap individu dapat bekerja secara kolektif dengan penuh sinergi sebagai satu kesatuan yang senyawa. Divisi-divisi kecil merupakan pondasi bagi divisi-divisi yang lebih besar lagi. Divisi-divisi kecil dari sekelompok orang duduk bersama pada akhirnya membentuk keputusan-keputusan dalam suatu pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan dalam sebuah tim memiliki nilai lebih karena tersedilanya berbagai jalinan relasli manusia secara langsung tanpa adanya rintangan-rintangan formal antar individu yang berdampak positif , yaitu dapat memompa semangat anggota tim untuk bekerja secara produktif. Tim kerja dapat membantu menyingkirkan rintangan-rintangan antar divisi , seta dapat mengangkat semangat dan motivasi para pekerja.
Jika prinsip-prinsip di atas terpenuhi, persepsi yang ada pada individu berubah menjadi interaktif, institusional, dan organisasionalbesar sepanjang zaman yang kita lalui. Disisi lain, tim yang baik merupakan kunci masa depan, terutama dalam menghadapi persaingan global. Karena hanya dengan tim yang kokoh dan terprogram rapihlah yang memiliki peran sentral dalam meningkatkan kualitas. Disamping itu, sebuah tim dapat menentukan bentuk dan jenis aktivitas atau pekerjaan yang dapat diterima. Hal tersebut dapat berpengaruh positif pada produktivitas di dalam team work.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa tim kerja merupakan sumber penting bagi peroses pemutakhiran pengetahuan. Karena interaksi yang tidak dapat dihindari, terciptalah sifat-sifat bersama yang membentuk kepribadian setiap individu dalam tim. Agar organisasi atau suatu lembaga dapat membuktikan kemampuan pribadinya dalam pengembangan dan kreativitas, organisasi tersebut wajib menciptakan suasana kondusif yang dapat melicinkan jalan untuk maju dengan menciptakan kesempatan-kesempatan kerja kolektif dam menumbuhkembangkan semangat tim.
Dengan demikian, mencapai puncak tertinggi tidak mungkin bisa dicapai hanya karena kerja keras seseorang saja. Bagai manapun tinggi dan supernya kemampuan seorang pemimpin, tetap saja ia membutuhkan bantuan dari yang lainnya agar ia mampu mengerahkan segala potensi yang dimiliki tim semaksimal mungkin.
Jumlah Team Work Ideal
Sebagian pendapat menyatakan bahwa jumlah ideal bagi sebuah tim kerja terdiri atas tiga hingga sepuluh orang, bergantung pada pembentukan tim dan fungsi yang dibutuhkan. Karena tim dapat memberikan kontribusi optimal dan berkesinambungan antara anggota, ekspresi pribadi masih tetap terbuka bagi setiap anggota tim, dan dapat dengan mudah membagi tugas tanpa kehilangan visi integrative seputar pekerjaan dan tugas. Di sisi lain dapat memecahkan berbagi masalah structural internal tim.
Jika tujuan dan fungsi sangat sulit dan menuntut kemahiran yang tinggi, jumlah anggota tim ideal sebaiknya terdiri atas enam hingga dua belas orang anggota. Agar setiap anggota mendapatkan tugas atau pekerjaan yang menjadi wewenangnya. Sebaiknya, penujukan dan penugasan untuk sebagian tugas kepada divisi-divisi kecil yang merupakan penjabaran dari tim yang besar tadi.
Berdasarkan kajian di atas, terdapat beberapa masalah mengenai jumlah anggota tim, diantaranya adalah:
Semakin besar jumlah anggota tim komunikasi semakin kompleks dan sulit, kondisi seperti ini membuat upaya untuk menyamakan persepsi semakin minim.
Semakin besar jumlah tim, focus terhadap masalah pribadi dapat mengalahkan keutuhan agenda tim yang telah terprogram.
Dalam tim yang terlalu kecil, gap akan muncul dan diskusi akan melebar dari focus utama yang dibahas dalam forum.
Dalam jumlah tim yang seimbang, terjadi kesulitan mendapatkan suara mayoritas. Celah gap pun semakin terbuka lebar. Oleh karena itu, disarankan anggota tim bersifat individual.
Rangkaian di atas mencerminkan sikap yang fleksibel dalam menentukan jumlah anggota tim yang ideal dalam sebuah tugas kerja .Berikut ini beberapa prinsip yang harus diambil dan menjadi konsideran sebelum menentukan jumlah anggota tim:
Karakteristik pemimpin tim, baik dari segi psikis maupun fisik .
Karakteristik anggota tim berdasarkan kapabilitas dan semangat bekerja .
Sejauh mana seorang pemimpin menyediakan waktu bagi dirinya untuk melakukan tugas nonmanajerial dan manajerial.
Tabiat pekerjaan yang ditinjau dari segi kompleksitas dan kesederhanaannya.
Gaya manajerial, dari segi pembagian tugas, apakah focus pada implementasi kebijakan dan anggaran untuk membuat program dari pada mementingkan kepentingan pribadi.
ANALISA DAN PEMBAHASAN
I. Interaksi Antar Anggota Tim
Setiap individu team work memiliki latar belakang kemampan yang istimewa, berupa pemahaman, pengalaman, maupun prediksi tantangan yang dihadapi team work. Sinergi team work dapat dicapai ketika setiap individu tim merubah diri dari sifatnya yang individualis kedalam sebuah tim yang sifatnya kolektif. Kesuksesan perpindahan tersebut bergantung pada kemampuan anggota tim dalam interaksi positif dan dalam kerjasama konstruktif dalam setiap aktivitas tim.
Jadi, membuka diri dan mau menerima peran serta orang lain merupakan permulaan dan membuka jalan bagi kita untuk mempercepat perpindahan menuju satu tim. Lebih dari itu, membuat orang lain lebih terbuka dan lapang dada untuk menerima kita, dengan sendiriya telah menghilangkan area tak bertuan yagn kita sendiri tidak mengetahuinya jika hanya bersandar pada reaksi orang lain terhadap diri kita.
II. Mengelola Kerja Team Work
Untuk dapat mengelola tim dengan baik, langkah pertama yang perlu diambil ialah menentukan target dan tujuan team work, spesifikasi tugas kepada setiap individu tim. Divisi-divisi besar meringkas tugas kepada divisi-divisi yang lebih kecil agar setiap anggota ikut andil dan merasa bagian dari tim, agar dalam pelaksanaannya dapat dikontrol dengan mudah. Pembagian tugas dan wewenang terhadap tiap divisi telah mencapai kesepakatan dari awal pembbentukan team work.
Apabila terjadi perubahan rencana dan target tim, dipelajari terlebih dahulu. Setelah tercapai kesepakatan terhadap perubahan target dan rencana tim, salah seorang dari anggota tim yang melakukan perubahan tersebut memberikan instruksi kepada setiap divisi dan membantunya saat dibutuhkan. Pada saat kegiatan tersebut dijalan, tim beserta anggota melakukan evaluasi dari awal pelaksanaan hingga puncak acara selesai dilaksanakan senantiasa untuk memastikan (mengawasi) secara rutin dan disiplin tentang peran setiap anggota tim dalam menyukseskan kerja tim.
III. Studi Komparatif
1. Pengalaman Jepang
Manajemen dalam pandangan bangsa Jepang adalah komitmen kolektif yang lahir dari kesadaran diri dan rasionalitas untuk mengabdi pada institusi (perusahaan) tempat kami bekerja, baik secara fisik maupun nalar. Manajemen kolektif atau manajemen konsesus yang terdapat dalam perusahaan Jepang ialah kolektivitas dengan makna bahwa kerjasama, sinergi, dan berkarya bukan hanya saling mendorong satu sama lain, namun lebih dari itu dilakukan secara hand in hand, aktif dalam mengambil keputusan, menentukan tujuan dari team work. Filosofi manajemen kolektif ini ternyata tidak hanya berlaku dan diterapkan di dalam perusahaan saja, namun berlaku diseluruh sendi kehidupan bangsa Jepang.
Keunggulan manajemen bangsa Jepang lainnya ialah bahan mereka sangat mengandalkan kualitas atau nilai kerja tim dan budaya yang menjadi spirit dan budaya setiap orang. Disitu setiap orang merasa bahwa dirinya adalah bagian dari anggota tim (perusahaan/institusi) dan ia sangat terkait erat dengan teman-temannya atau para karyawan yang bekerja dengannya. Maka, tidak diragukan lagi, kelangsungan, ketahanan, dan pertumbuhan merupakan target strategis bagi setiap perusahaan yang bersifat profit center. Selain itu, bangsa Jepang benar-benar mefokuskan pada kemahiran dan kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.
2. Pengalaman Amerika
Perbedaan terpenting antara Jepang dengan Amerika adalah kecenderunga dan focus mereka terhadap kolektivitas dan individualitas. Bangsa Jepang lebih cenderung bersifat kolektivitas dari pada individualitas, demikian sebaliknya dengan bangsa Amerika yang lebih mengedepankan pekerjaan secara independent dan individualitas.
Dari perbedaan itu menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
Tatanan keluarga Jepang relative lebih kuat.
Usah orang Amerika ialah merealisasikan independensi dan ambisi individualitasnya.
Individu Amerika cederung lebih tahan banting.
Tidak ada kepemimpina , kultus atau charisma individu untuk bangsa Jepang.
Bangsa Amerika sangat menikmati terhadap skill dan kemampuan individu yang secara khusus dimilikinya.
Dari dua model system manajemen yang diterapkan oleh Jepang dan Amerika dapat disatukan dalam satu titik temu yang dapat saling memperkuat, melengkapi, dan berkesinambungan seperti halnya system yang diterapkan dalam dunia islam, yaitu dengan menyeimbangkan antara kemempuan individu kedalam kerja kolektif dalam mencapai tujuan bersama..
Spirit Jiwa dan Pendidikan untuk Berinteraksi dengan Pihak Lain dalam Bingkai Team Work
Poin-poin beikut merupakan panduan yang diharapkan menjadi pembuka jalan bagi terciptanya harmonisasi potensi yang dimiliki demi tercapainya kepentingan anggota secara luas dan penataan agenda bersama.
Bekerja sama dalam hal yang disepakati dan saling toleran terhadap hal yang belum disepakati, merengkuh manfaat dari kebersamaan yang melahirkan gagasan utuh yang saling melengkapi. Atas dasar itulah kerja tim merupakan hal terpenting dalam menghadapi era globalisasi.
Jika kerja keras dan upaya kita dapat bersinergi serta saling membangun fondamen jiwa dan pendidikan , juga meresponsif terhadap nilai-nilai, norma-norma, dan visi misi kita hingga terciptanya rancangan aksi strategis di kemudian hari. Itulah spirit yang menjadi energi bagi setiap pergerakan dan aksi.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
I. Kelebihan
Dalam buku ini dibahas beberapa syarat dan ketentuan yang perlu dipenuhi dalam membentuk suatu tim, serta methode yang digunakan untuk menjalankannya, juga disertai dengan tips yang mendukung kelangsungan tim tersebut. Diantaranya ialah, sifat-sifat kepemimpinan, jumlah tim yang ideal sesuai dengan besar dan ruang lingkupnya, mengelola kerja tim dan interaksi antar anggotanya, kiat menjaga loyalitas team work dan mengoptimalkannya.
Selain itu , dalam buku ini juga terdapat rujukan dari tiga sudut pandang yang dapat dijadikan referensi. Pertama, ciri manajemen Jepang yang memfokuskan pada sitem kerja kolektif yang melibatkan semua unsur di dalam tim sehingga setiap anggota merasa memiliki dan menjadi bagian dari tim tersebut, hingga pelaksanaannya menjadi lebih mudah dan terarah karena setiap anggota diberikan wewenang dan tanggung jawab menurut kemampuannya. Kedua, ciri manajemen Amerika yang lebih menekankan pada kemapuan skill individu, sehingga setiap individu lebih siap dan tahan banting dalam memhadapi masalah tim. Tetapi tidak terlalu menekankan sinergi antar tim tersebut. Ketiga, Sudut pandang dunua islam yang memadukan kedua unsur tersebut hingga tercipta individu yang handal dengan sinegi positif antar anggota tim yang semakin memperkuat pelaksanaan tim dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan..
Buku ini juga dilengkapi dengan ilustrasi gambar, sehingga para pembacanya tidak terlalu jenuh. Selain itu, gambar yang disuguhkan dapat mempermudah pembaca dalam memahami isi buku tanpa perlu membacanya berulang-ulang. Maka, buku ini sangat cocok dijadikan referensi bagi kalangan pemula yang ingin menjalankan suatu kerja kolektif dengan sinergi antar anggota di dalamnya.
II, Kekurangan
Dalam buku ini juga masih terdapat beberapa kekurangan yang perlu dilengakapi dengan pedoman lain untuk memantapkan pelaksanaan suatu kerja kolektif atau team work. Diantaranya, pembahasannya masih dalam skala umum atau garis besar yang kurang menyeluruh dan mendetail mengenai metode dan langkah-langkah yang perlu diambil dalam menjalankan suatu kerja kolektif. Bahasa yang digunakan dalam pembahasannya juga kurang familiar, sehingga cukup menyulitkan bagi sebagian kalangan terutama para pemula yang ingin menjalankan suatu kerja kolektif dengan sinergi yang tepat bagi setiap anggota tim.
Selain itu juga terdapat beberapa kuisioner berisi pertanyaan-pertanyaan yang terlalu benyak dari pada pembahasan tentan team work itu sendiri. Yang terkadang dapat membingungkan karena tanpa disertainya jawaban yang mungkin dapat membantu para pembaca lebih baik lagi.
Resume buku :
M. Ahmad Abdul Jawwad, Manajemen Team work, PT. Syaamil Cipta Media, 88 halaman, Bandung, 2006.

Gosip yang Makin Sip Buat Produk Anda

Apakah Anda termasuk orang yang sering menonton acara gosip di televisi? Ya atau tidak bukanlah masalah. Tetapi memang harus diakui, daya tarik gosip ini memang luar biasa, menonton dari televisi saja sudah seperti apa rasanya, puas kita mengetahui secara komplit sisi-sisi informasi yang selama ini tidak pernah kita ketahui. Apalagi melakukannya secara live, ditambah dengan teman bicara yang Oke. Hmmmm… mantap, pembicaraan pasti berlangsung seru sampai lupa waktu.�Saya tidak ingin menuduh perempuan sebagai pelaku utama dari aktivitas ini, tetapi harus diakui bergosip memang asik, baik bagi laki-laki ataupun perempuan. Hanya intensitas bergosipnya saja yang berbeda.Nah, tetapi dari sisi lain, bagaimana rasanya bila kita yang menjadi bahan gosip. Waaaahh, dunia bisa serasa berakhir. Makan gak enak, tidur tidak nyenyak. Mumet berat lah pokoknya. Ternyata tidak hanya orang atau artis saja yang bisa jadi korban gosip. Produk dan merek kita juga bisa menjadi korban gosip. Istilahnya “black campaign”.
Akhir-akhir ini beredar kabar bahwa salah satu merek obat antinyamuk “Hit”, ditemukan mengandung pestisida diklorvos yang berbahaya bagi lambung dan dapat memicu kanker hati. Kabar yang memang dibenarkan oleh pihak berwenang ini dalam jangka waktu yang singkat dimanfaatkan oleh beberapa kompetitior obat antinyamuk untuk mengambil konsumen merek tersebut, melalui iklan-iklan yang bernada memojokkan.�Selain kasus ini, mungkin masih ingat beberapa tahun lalu saat beberapa obat diare disinyalir memiliki kandungan yang membahayakan kesehatan. Saat itu “korbannya” tidak tanggung-tanggung, salah satunya adalah Entrostop yang merupakan market leader.
Yang menarik untuk dipelajari dari kasus ini adalah, apa yang harus kita lakukan saat produk kita yang terkena kasus seperti itu, dan dimanfaatkan oleh kompetitor untuk menyerang produk kita dengan black campaign. Dalam beberapa kasus, black campaign bisa dilakukan tanpa dasar kenyataan. Alias murni gosip semata. Walaupun dapat berpengaruh terhadap image produk dan merek kita, gosip yang tidak terbukti seperti ini sebenanya dapat berfungsi sebagai ‘reminder’ gratis bagi merek kita. Masalahnya adalah apabila kasus digosipkan tersebut benar-benar terbukti atau terjadi bukan?
Reminder, adalah pengingat, atau dengan kata lain, sesuatu yang bisa membuat masyarakat kembali mengingat akan keberadaan produk kita. Jadi sebenarnya, tidak perlu terlalu khawatir menghadapi gosip karena sebenarnya komunikasi ini bisa diolah untuk berbalik menjadi kepentingan kita.
Yang pertama harus kita lakukan adalah jangan bersikap panik serta reaktif untuk mengcounter isu tersebut. Kita tidak perlu fokus kepada pembuat isu atau kompetitor, tetapi kita harus fokus untuk memberikan image positif terhadap konsumen guna mengcounter penurunan brand image kita, atau lebih buruk lagi adalah hilangnya kepercayaan dari konsumen.
Memperbaiki kekurangan yang ada pada produk kita dan kemudian mempublikasikannya kepada konsumen adalah cara paling produktif untuk menghadapi situasi ini. Untuk dapat melakukannya, kita harus memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan pada saat genting yang kita hadapi.
Entrostop misalnya, pascakasus tersebut langsung merespons dengan mengganti kandungan yang dilarang tersebut kemudian mengomunikasikan image baru dengan merek “Neo Entrostop”.
Satu hal yang perlu kita pahami dalam hal ini, opini publik itu sifatnya seperti aliran air yang kuat. Kita dapat bertahan melaluinya bukan dengan melawan aliran tersebut, tetapi justru dengan berjalan searah dengan aliran tersebut. Pada umumnya, bila sebuah produk tersangkut dengan permasalahan atau kasus dan hal itu dimanfaatkan oleh kompetitornya, audience tidak ingin melihat pembuat produk tersebut ngotot merasa tidak bersalah, atau justru cuek saja dengan kasus yang terjadi.
Publik menginginkan respons positif yang menunjukkan tanggung jawab, serta niat baik produsen untuk memberikan yang terbaik bagi konsumen. Dengan cara seperti itulah, black campaign dapat kita atasi dan kita ubah untuk semakin memperkuat image produk kita.

Idul Fitri, Taqwa Sosial, Dakwah


Capaian utama dari ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah taqwa (al Baqarah/2:183). Taqwa—seperti kita pahami dari definisi yang diberikan para khatib Jum’at—adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Definisi taqwa seperti itu sangat logis, karena, diantaranya, didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “Kerjakanlah apa yang diwajibkan Allah atasmu, niscaya kamu menjadi orang yang amat bertaqwa kepada Allah.” (R. at-Thahawy). “Seorang hamba tidak akan mencapai golongan muttaqin, sehingga dapat meninggalkan apa-apa yang tidak berdosa karena kawatir masuk dalam apa-apa yang berdosa” (HR Tirmidzi).
Maka, (idealnya) Idul Fitri adalah deklarasi kita sebagai orang bertaqwa, yakni orang yang telah mampu menjalankan keseluruhan perintah Allah dan meninggalkan keseluruhan larangan Allah. Tetapi mari secara jujur kita bertanya pada hati nurani, benarkah pascapuasa Ramadhan kita telah mencapai derajat taqwa? Harapan kita, mudah-mudahan begitu. Tapi berhasilkah?
Mari kita ukur tingkat keberhasilan itu dengan indikator-indikator sederhana sebagai berikut: Allah memerintahkan kita menundukkan pandangan (an Nur/24: 30-31), menghindari kemaksiatan mata; berhasilkah kita menundukkan pandangan di tengah gemerlap “pameran” aurat dan kemaksiatan di hampir seluruh penjuru kota dan media massa? Allah memerintahkan kita mengkonsumsi makanan (barang) halal (al Baqarah/2:168; al Maidah/5:88; an Nahl/16:114); masih mampukah kita membersihkan makanan (barang) yang kita konsumsi dari pencemaran haram di tengah-tengah budaya praktik korupsi birokrasi (pemerintah dan swasta) kita? Allah memerintahkan kita melakukan hukum qisas (al Baqarah/2:178; al Maidah/5:45); betulkah perintah itu kita lakukan, bukankah sampai hari ini hukum itu kita cibir dan campakkan? Allah melarang kita mempraktekkan riba (al Baqarah/2:275; Ali lmran/3:130); berhasilkah kita lepas dari jeratan riba di tengah sistem perbankan yang ditopang oleh riba (bunga?).
Pertanyaan-pertanyaan di atas sesungguhnya untuk menunjukkan betapa tidak semua perintah Allah telah berhasil kita jalankan, sebaliknya tidak semua larangan Allah berhasil kita tinggalkan. Mengapa? Tidak lain dan tidak bukan karena pencapaian ketaqwaan individual mensyaratkan tercapainya ketaqwaan sosial. Dengan kata lain, kita bisa menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan Allah jika sistem yang melingkupi kita cukup kondusif bagi usaha-usaha pencapaian taqwa itu.
Dalam konteks ini, pencapaian derajat taqwa akan sebanding dengan seberapa jauh pintu-pintu kebajikan terbuka lebar-lebar dan pintu-pintu kemaksiatan/kejahatan tertutup rapat-rapat.
Bisa dibayangkan betapa sulitnya tercapai ketaqwaan individual jika perilaku-perilaku baik dan benar masih mendapat hambatan struktural. Bagaimana Muslim kebanyakan bisa naik haji jika haji masih dijadikan sebagai komoditas ekonomi yang mahal? Bagaimana Muslim kebanyakan bisa hidup sejahtera jika peluang untuk bekerja dan berusaha yang benar dihambat oleh sejumlah “kebijakan” penguasa yang hanya menguntungkan segelintir pemilik akses kekuasaan (konglomerat, kroni kekuasaan).
Sebaliknya juga; sulit sekali tercapai ketaqwaan individual jika kemaksiatan dan kejahatan (ekonomi, politik, humaniora, sosial, hukum) masih menghadang kita. Meskipun secara pribadi kita tidak berminat melakukan kemaksiatan dan kejahatan, tetapi jika sistem yang berlaku adalah sistem yang kondusif–bahkan menganjurkan–kemaksiatan dan kejahatan, maka kita pasti akan terkena imbasnya. lbaratnya dosa struktural yang dilakukan oleh sebuah sistem akan berimbas pada dosa individual.
Oleh karena itu pula, pencapaian derajat taqwa berbanding lurus dengan upaya dakwah kita. Janganlah kita terlalu optimis mencapai derajat taqwa pada Idul Fitri kali ini jika secara sadar belum melakukan apa-apa; sebelum kita mendobrak pintu-pintu kebaikan yang terkunci rapat dan menutup pintu-pintu kemaksiatan/kejahatan yang terbuka menganga. Kita jangan merasa mendapat derajat taqwa secara cuma-cuma dan otomatis.
Di sinilah perlunya kita secara bersama-sama melakukan dakwah menuju berlakunya sistem Islam. Sebab dengan berlakunya sistem Islam akan tercipta suasana kondusif bagi pencapaian derajat taqwa. Dengan sistem Islam umat Islam akan terkondisikan—secara sadar atau terpaksa—untuk mampu menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Tidak ada lagi kebijakan normatif yang menghambat umat Islam dalam mewujudkan kebaikan-kebaikan. Tidak ada lagi kebijakan normatif yang menjerat bagi umat Islam untuk berbuat keji dan munkar. Dengan sistem Islam, capaian-capaian taqwa relatif lebih mudah diraih. Meskipun tetap harap diingat bahwa berlakunya sIstem Islam tidak secara otomatis melahirkan ketaqwaan individual. Sebab ketaqwaan itu sebuah proses dan bersifat kualitatif, sulit diukur dan tak berujung.

Media, Ghibah, dan Aib itu!

Posted Nopember 9, 2007Filed under: Humanisme, Media
Suatu pagi pukul 06.30. Kompleks perumahanku didatangi banyak loper koran—tepatnya koran kriminalitas terbitan Surabaya. Mereka berteriak-teriak menyebut nama komplek perumahanku. Langsung terbayang dalam benakku, wah pasti ada kejadian—kalau tidak kecelakaan ya kriminalitas—di perumahanku yang terliput koran itu.

Memang, dalam praktik pemasarannya, koran itu menerapkan penjualan langsung pada wilayah yang di dalamnya terliput kejadian oleh koran itu. Biasanya didrop satu mobil loper koran. Mereka mengelilingi jalan atau gang untuk memberitahukan bahwa korannya memuat peristiwa di daerah tersebut, dengan tujuan, tentu saja, orang-orang berbondong-bondong membeli korannya.
Cara pemasaran seperti itu sebenarnya cukup cerdik. Sebab ada kecenderungan bahwa orang lebih membutuhkan berita lokal, karena ia merasa sebagai bagian di dalamnya. Maka jangan heran jika kini bermunculan terbitan-terbitan lokal; baik yang menyangkut komunitas maupun kewilayahaan.
Tapi, pagi itu hatiku teriris. Kedatangan para loper koran itu menimbulkan kegalauan. Apakah keluargaku terliput koran kriminalitas? Insya Allah tidak! Sehari, atau seminggu sebelumnya kami baik-baik saja. Anak-anak (kecilku, terbesar kelas VIII SMP) baik-baik saja. Istriku, juga aku, baik-baik saja. Kami semua di rumah (kecuali yang kedua sekolah sekaligus mondok di Bojonegoro) baik-baik saja.
Maka, jika bukan keluargaku, pastilah tetanggaku yang terliput. Dengan terpaksa aku beli satu koran. Ada yang kecelakaan? Aku pesimis, karena jika itu yang terjadi, pastilah berita duka itu sudah menyebar di perumahanku sehari sebelum koran kriminalitas itu terbit. Ternyata kegalauanku terjawab. Seorang ibu, tetangga jauhku, terliput oleh koran itu dengan berita yang sangat memprihatinkan, “tertangkap saat mencuri kosmetik di salah satu plasa Surabaya”.
“Kasihan, jangan disebarkan,” pintaku pada istri. “Anak-anak juga jangan boleh membaca!” Tapi, ah, mungkin permintaanku itu agak sia-sia. Bukankah seluruh jalan dan gang di perumahanku sudah ditawari koran itu! Seluruh warga perumahan membaca berita itu!
Aku, langsung membayangkan diriku dan keluargaku sendiri. Rasanya tak kuat mendapat tatapan mata warga seperumahan. Malu sekali. Aib itu bukan saja dibaca oleh orang se-Surabaya [mungkin se-Jawa Timur] tapi tersebar juga ke sudut-sudut mata para tetangga.
Ghibah Media?
Selalu ada dilema ketika sebuah peristiwa harus disiarkan. Pertama, bahwa berita itu adalah hak masyarakat, oleh karena itu kejadian-kejadian menarik harusnya diberitakan, tanpa harus mempertimbangkan dampaknya. Kedua, setiap penyebaran berita selalu membawa dampak. Tidak menjadi dilema jika dampak yang mungkin ditimbulkannya adalah positif; tetapi jika berdampak negatif, maka di sini mulai muncul dilema.
Pada konteks kasus kriminalitas seperti yang terjadi pada tetangga di atas, tentu tersimpan dilema di dalam pemberitaannya. Media mencoba menjawab bahwa berita itu adalah bagian dari tugas memberi informasi kepada masyarakat, karena kejadiannya memang fakta, dan menarik. Soal dampak, mereka bisa berkilah bahwa dengan diberitakannya kejadian itu, akan membuat ibu-ibu lainnya tidak akan meniru kekeliruan yang sama. Soal dampak psikologi pelaku dan keluarga, mereka mengatakan, “Kalau tidak mau diberitakan aibnya, ya jangan mencuri!”
Ya, mencuri memang sebuah tindakan kriminalitas. Kita semua mengecamnya! Tapi, seperti salah satu pasal KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia) 2006, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Dengan mengacu pada pasal 5 KEWI 2006, sebenarnya media sudah bisa mengunci dilema itu. Dia tetap berhak untuk memberi informasi sebagai hak publik, tapi juga bisa meminimalisai dampak psikologi pelaku kriminalitas dan keluarganya.
Belum lagi jika diskusi kita dasari dengan nilai agama. Bisa jadi pemberitaan kejadian kriminalitas dengan membeberkan identitas pelaku itu masuk kategori ghibah. Suatu hari pada zaman Nabi saw, seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah yang disebut ghibah?” Rasulullah saw menjawab, “Ghibah adalah menceritakan keburukan orang lain di belakang dia.“ Sahabat itu bertanya lagi, “Bagaimana jika keburukan itu memang terdapat pada dirinya?” Rasulullah saw menjawab, “Itulah yang disebut dengan ghibah.” Lalu bagaimana jika keburukan itu tidak terdapat pada dirinya?” “Hal itu disebut dengan buhtan atau fitnah. Dosanya lebih besar daripada ghibah,” jawab Rasulullah saw.
Tapi, inilah wajah pers kita. Sudah banyak etika yang dilanggarnya, karena banyak kepentingan yang melatarbelakanginya. Dalam kasus tetangga tadi, sangat terlihat bahwa kepentingan bisnis yang berbicara pada media itu.
Tentu, harus menjadi introspeksi bersama ketika justru yang menjadi pelaku kriminalitas itu adalah orang-orang kecil. Sangat terbuka kemungkinan, bahwa pencurian itu adalah sebagai bentuk jalan pintas untuk menutupi kebutuhan minimal yang tak terpenuhi. Jika ini yang terjadi, maka sebenarnya kita pun membawa dosa struktural. Bagaimana bisa terjadi seorang anggota masyarakat kita mencuri, karena tidak bisa makan!

Grey Chicken dan Hedonisme Instan *)

Posted Mei 20, 2008

Liputan Metropolis berjudul “Jual Diri Mengejar Rumah” (18/5), cukup menggugah keprihatinan. Jika selama ini seks bebas ditengarai masuk ke dalam kehidupan pelajar metropolis, laporan tersebut semakin menampakkan wajah buram lainnya. Ternyata telah terjadi komersialisasi seks di kalangan pelajar. Jika di kalangan kampus telah lama dikenal istilah ayam kampus (campus chicken) untuk menyebut mahasiswi yang menjalani praktik protitusi, maka sekarang muncul istilah grey chicken untuk PSK pelajar. Istilah grey chicken sendiri (ayam abu-abu) merujuk pada seragam abu-abu yang menjadi ciri khas seragam pelajar tingkat SMA.

Hebatnya, nilai komersial grey chicken cukup fantastis, berkisar dari tarif terendah Rp 500 ribu sampai Rp 2 juta, sesuai grade mereka. Tak heran jika salah seorang grey chicken bisa memperoleh “pendapatan” bersih Rp 1 juta sehari atau Rp 30 juta sebulan. Sebuah angka yang melampaui rata-rata gaji profesional metropolis.
Serbuan Materialisme
Menarik juga untuk mencermati motif grey chicken dalam menjalani profesinya itu. Selama ini, dunia pelacuran selalu identik dengan impitan hidup atau kesulitan ekonomi para pelakunya. Tetapi laporan tersebut justru menunjukkan hal lain. Ketertarikan mereka pada profesi grey chicken jelas bukan karena alasan ekonomi keluarga. Sebab, mereka berasal dari keluarga berkecukupan.
Tidak aneh jika ada orang yang menginginkan sebuah rumah atau mobil sendiri. Tapi, menjadi aneh jika hal itu sudah diimpikan oleh seorang pelajar SMA dengan cara menjual diri dan kehormatan. Padahal, tugas utama mereka adalah belajar sebaik mungkin. Fenomena itu menunjukkan bahwa motif grey chicken lebih pada mengejar gaya atau kesenangan hidup semata. Ironisnya, jalan yang ditempuhnya adalah dengan cara-cara menyimpang. Inilah yang oleh Veronica Suprapti (1997) disebut sebagai hedonisme instan yakni merasakan kenikmatan puncak dengan jalan pintas.
Salah satu pemicu tumbuh-kembangnya hedonisme instan remaja metropolis adalah paham materialisme, suatu pandangan hidup yang memberi tempat sangat tinggi pada kenikmatan lahiriyah. Runyamnya, di era teknologi komunikasi seperti sekarang ini, paham tersebut semakin mendapat tempat di mata remaja metropolis. Trend dan gaya hidup serba wah selalu menjadi impian mereka.
Tiap detik, memori bawah sadar mereka dijejali film, sinetron, atau iklan produk-produk bermerek yang menawarkan gaya hidup serba wah. Handphone (HP), misalnya, kini dicitrakan bukan sekedar sebagai alat komunikasi, melainkan sudah sebagai icon dan gaya hidup. Mereka perlu HP yang modern, lengkap dengan fasilitas multimedia yang selalu up date: kamera, koneksi internet, dan musik. Gonta-ganti HP yang baru dan canggih adalah sebuah keharusan gaya hidup. Dan semua itu ditawarkan produsen tidak dengan harga murah. Dari mana semua gaya hidup mewah ini akan dibiayai jika tidak sanggup lagi didukung oleh orang tua (kaya)? Maka cara-cara instan kemungkinan yang akan ditempuhnya.
Bukan hanya produk yang dilesakkan pada impian remaja metropolis, cara hidup yang bebas nilai pun bisa diakses dari teknologi komunikasi setiap saat, yang pada akhirnya menjadi bagian bawah sadar remaja. Ketika impian bawah sadar itu menemukan momentumnya, sangat mungkin mereka tergoda untuk mempraktikannya.
Kegagalan Sistem Pendidikan
Harus diakui bahwa selama ini sistem pendidikan kita, khususnya pendidikan agama, hanya berputar-putar pada aspek kognitif. Akhlak atau moralitas hanya diajarkan sebagai sebuah wacana dan teori tanpa banyak menyentuh aspek afektif dan psikomotor. Bahkan tak jarang pendidikan kita minus keteladanan.
Proses pendidikan yang demikian biasanya hanya membuat anak didik cerdas otaknya (IQ), tatapi tidak cerdas hatinya (EQ dan SQ). Artinya moralitas hanya dipahami sebagai pengetahuan tetapi tidak pada kesadaran hidup.
Mungkin para remaja dan pelajar metropolis tidak ada yang menyangkal bahwa seks bebas atau melacurkan diri adalah perbuatan tercela. Tetapi, jika itu hanya melekat pada dirinya sebagai sebuah pengetahuan, bagaimana bisa mencegahnya dari melakukannya? Belum lagi jika mereka merasa mendapat pembenaran dari “teladan” yang diberikan oleh orang tua atau para tokoh masyarakat atas perbuataan yang serupa.
Menarik sebenarnya jika kita mengkaitkan hal itu dengan doa bersama yang banyak dilakukan para pelajar sebelum menghadapi Ujian Nasional (unas) beberapa waktu yang lalu. Dalam kegiatan itu, kita melihat adanya upaya pihak sekolah untuk menumbuhkan kesadaran spiritual siswa terhadap Tuhannya. Apa yang dapat kita tangkap? Ternyata dalam kondisi tertekan saat menghadapi kesulitan, para siswa bisa sangat religius. Mereka bisa sangat dekat dengan Tuhan.
Tapi dari sinilah muncul tantangan baru itu. Dapatkah kesadaran spiritual siswa itu terbangun tidak saja pada saat menghadapi unas, melainkan pada sepanjang perjalanan hidupnya? Sebab, tujuan utama pendidikan kita adalah menumbuhkembangkan generasi penerus bangsa, yang tidak saja cerdas dan kreatif, melainkan juga berbudi luhur.
Maka tugas sekolah, guru, dan elemen masyarakat lainnya yang peduli pada remaja dan pelajar metropolis adalah membangun kesadaran spiritual yang lebih bersifat “abadi”. Bahwa dekat dengan Tuhan itu tidak harus memilih situasi dan kondisi, melainkan sebuah citra diri yang terefleksi dalam keseharian. Di sinilah perlunya ditanamkan kesadaran selalu dalam pengawasan Tuhan (omnipresent). Bahwa Tuhan itu maakum ainama kuntum (bersama kamu di mana saja kamu berada).
Kesadaran seperti itu bisa terbentuk jika kita mampu mengintegrasikan seluruh materi pelajaran sebagai sebuah sikap hidup. Pemberian materi hukum grafitasi misalnya, tidak boleh berhenti pada hukum fisikanya saja, melainkan harus ditarik pada tahap spiritual, bahwa sebelum Isaac Newton menemukan hukum gravitasi, setiap benda akan jatuh ke bawah terbawa gravitasi bumi. Betul bahwa intuisi dan otak cerdas Newton berhasil merumuskan teori itu, tapi sesungguhnya siapa yang menciptakan hukum keteraturan alam itu? Dialah Tuhan.
Saya yakin, jika proses pendidikan diramu seperti itu, kesadaran spiritual pelajar akan lebih langgeng terbangun. Maka, masih beranikah mereka melacur jika merasa salalu dilihat Tuhan.(*)

Bisakah tanpa Maksiat Sepanjang Tahun?

Posted Agustus 27, 2008Menjelang Ramadan 1429 H, Sepakat Tutup Hiburan Malam

Setiap (menjelang) Ramadan, wacana penutupan berbagai tempat hiburan malam kembali mencuat. Tahun ini Pemkot Surabaya kembali menginstruksikan penutupan tempat-tempat hiburan malam pada Ramadan. Kebijakan itu diambil untuk menjaga keamanan dan ketertiban selama bulan suci tersebut.
Keputusan itu ditegaskan Wali Kota Bambang D.H. bersama jajaran muspida dengan menandatangani seruan bersama. Acara tersebut dihadiri jajaran kepolisian, DPRD, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan para pejabat di lingkungan pemkot.
Melalui Perda No 2 Tahun 2008, Pemerintah Kota Surabaya kembali menginstruksikan penutupan tempat-tempat hiburan malam pada Ramadan dan malam Hari Raya Idul Fitri di seluruh wilayah Surabaya tanpa kecuali (Jawa Pos, 21 Agustus 2008).
Terhadap penutupan tempat hiburan malam saat Ramadan itu, selalu muncul pendapat yang pro dan kontra. Sepintas, alasan-alasan yang dikemukakan kedua kalangan tersebut sangat logis. Akan tetapi jika ditelaah lebih jauh, akan kita temukan beberapa kerancuan logika yang melandasi pendapat mereka.
Di antara sekian alasan yang pro terhadap penutupan itu, salah satunya adalah bahwa bulan suci Ramadan dan umat Islam yang berpuasa di dalamnya harus dihormati dengan jalan menghentikan segala bentuk perilaku maksiat.
Menarik menelaah seberapa jauh alasan tersebut bisa diterima. Memang, pada saat umat Islam menunaikan ibadah di bulan Ramadan, diperlukan suasana kondusif yang memungkinkan dijalankannya puasa dan ibadah lain secara khusyuk. Maka, segala gangguan, terutama yang berbau maksiat, sebisanya dihindari.
Masyarakat Steril?
Namun, ada kelemahan mendasar pada argumentasi itu. Sebab, seolah-olah perilaku kemaksiatan di luar Ramadan diperbolehkan, bahkan diberi ruang yang luas. Kita tentu setuju jika tempat-tempat kemaksiatan ditutup pada Ramadan. Tetapi, penutupan tersebut jangan didasarkan pada Ramadan­nya, melainkan bahwa segala bentuk kemaksiatan memang harus dihindari, tak peduli Ramadan atau bulan-bulan lain.
Sebab, sekali lagi, jika Ramadan dijadikan alasan penutupan hiburan malam, akan timbul kerancuan berpikir bahwa di luar Ramadan, kemaksiatan menjadi halal (argumentasi seperti ini sama dengan pernyataan, “Jangan berbohong saat sedang berpuasa.” Jadi, logika terbaliknya: di luar Ramadan boleh berbohong?).
Cara berpikir seperti itu sama saja dengan “memenjarakan” Tuhan, yaitu membatasi wilayah kekuasaan Tuhan hanya di waktu atau tempat sakral (suci) sehingga logika terbaliknya, Tuhan tidak berhak mengatur kita di waktu atau tempat profan (duniawi).
Dalam konteks ini, Ramadan sebagai bulan suci ternyata hanya kita jadikan sebagai “penjara” Tuhan. Dengan demikian, pada bulan itu, seolah-olah semua kemaksiatan tidak pantas dilakukan, tetapi “halal” di bulan lain. Sama seperti saat kita “mengantung” Tuhan hanya di pojok-pojok masjid atau sudut-sudut majelis taklim. Karena Tuhan ada di tempat-tempat tersebut, kita (seolah-olah) bersikap religius. Namun, setelah keluar dari tempat sakral itu, kita menjadi manusia permisif, kembali melakukan korupsi di kantor atau berselingkuh di hotel.
Selain itu, ada semacam sikap manja atas permintaan penutupan tempat maksiat pada Ramadan. Seolah-olah umat Islam tidak bisa beribadah dalam heterogenitas masyarakat. Kesannya, umat Islam adalah umat yang steril. Hanya bisa bertahan hidup dalam waktu atau tempat yang bebas dari “kuman” maksiat dan menggelepar dalam hegemoni budaya non-Islam. Di sinilah sebenarnya relevansi uji keimaman bagi seorang muslim. Mana yang lebih berkualitas, apakah keberhasilan menjalankan ibadah di tengah-tengah tantangan yang berat atau dalam situasi steril tanpa tantangan?
Kita sepatutnya berempati kepada umat Islam yang menjadi minoritas di negara-negara lain. Ternyata, mereka tetap khusyuk menjalankan ibadah, sekalipun berada di tengah hiruk-pikuk perilaku sekuler.
Kemaksiatan sebagai Keniscayaan Sejarah?
Sementara itu, kalangan yang kontra atas penutupan tempat-tempat maksiat mengajukan berbagai argumentasi yang kelihatan logis dan manusiawi. Akan tetapi, jika kita tinjau lebih jauh, semuanya tidak logis dan (justru) tidak manusiawi. Pertama, argumentasi bahwa pelacuran sudah ada sepanjang sejarah manusia. Dalam ilmu logika, cara berpikir itu disebut fallacy of retrospective determinism, yaitu kerancuan berpikir yang menjadikan sesuatu yang secara historis memang selalu ada; tidak bisa dihindari dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang (Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar, Jalaluddin Rakhmat, Rosdakarya, 1999).
Karena pelacuran dianggap ada sejak dulu, sia-sia saja usaha untuk memberantasnya. Karena itu, perlu dilokalisasi dan tidak perlu diusik-usik, meski Ramadan tiba. Jika cara berpikir seperti ini diikuti, memang tidak perlu ada usaha-usaha pemberantasan korupsi, pengentasan kemiskinan, pencegahan peperangan, atau perpecahan di kalangan umat. Sebab, bukankah itu ada rujukan sejarahnya?
Kedua, argumentasi bahwa para pelacur atau pegawai (tepatnya pengusaha) tempat-tempat maksiat itu akan kesulitan mencari nafkah (apalagi menjelang Lebaran) jika pada Ramadan tempat “kerja” mereka ditutup.
Argumentasi itu kelihatannya manusiawi sekali. Tetapi, sesungguhnya justru menjerumuskan mereka dari sisi kemanusiaan. Sisi kemanusiaan mana yang membolehkan orang melakukan transaksi jual-beli diri (melacur)?
Dalam pandangan Islam, pelacuran adalah tindakan kriminal. Karena itu, pelanggarnya akan dikenai sanksi (pidana yang berat). Dalam konteks seperti itu, pelacuran hampir setara dengan tindak kriminal pembunuhan atau korupsi.
Jika para pembela pelacuran itu konsisten terhadap alasan “makan apa mereka jika tempat prostitusi ditutup” menjadi alasan kemanusiaan, seharusnya mereka juga membela para pencuri atau pembunuh (bayaran). Sebab, jika dilarang, mereka makan apa?
Bolehlah alasan ekonomi dikemukakan. Namun, pembelaan terhadap pelacuran atas dasar ekonomi (makan atau perut) terlalu mengada-ada dan justru menjadi pembenaran bagi para pelacur untuk terus melacur. Tidak tepat pelacur disebut wanita tunasusila (WTS) ataupun pekerja seks komersial (PSK). Sebab, melacur itu sendiri adalah perbuatan yang jauh dari nilai-nilai fitrah manusia yang berketuhanan dan pro kebenaran. Karena itu pula, melacur bukanlah hak asasi. Maka, agak aneh juga jika penutupan tempat maksiat tersebut menjadikan mereka takut tidak memperoleh bekal Lebaran, sementara Lebaran memiliki semangat kembali kepada kebenaran.
Pertanyaannya, apakah memang tidak ada pekerjaan lain, sekalipun yang tidak membutuhkan keterampilan, selain dengan cara melacurkan diri? Saya kira, jika ada kemauan keras dan tidak adanya dukungan, semacam legalisasi lokalisasi pelacuran oleh pemerintah atau “provokasi” dari organisasi nonpemerintah bahwa pelacuran itu sah dan merupakan hak asasi, masih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan.
Terakhir, meskipun pemerintah kota sudah membuat keputusan untuk menutup tempat-tempat maksiat saat Ramadan, jangan terlalu berharap kebijakan itu mendapatkan simpati dari umat Islam yang mau berpikir jernih. (*)
Mohammad Nurfatoni, Aktivis Forum Studi Indonesia
Tulisan ini telah dimuat harian Jawa Pos, Ruang Publik Metropolis, Rabu 27 Agustus 2008

Pencitraan Elit dan Kesulitan Kaum Alit

Posted Juni 12, 2008 by Mohammad Nurfatoni
Artikel ini dimuat Buletin Hanif, edisi tanggal 6 & 13 Juni 2008

Kenaikan harga BBM telah dipatok pemerintah. Dampak dari kenaikan itu segera dirasakan masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Transportasi misalnya adalah salah satu sektor yang segera mengikutinya. Tak terelakan, kenaikan ini akan menimbulkan efek domino.

Kenaikan harga bukan saja akan menimpa pada barang atau jasa yang berhubungan langsung dengan penggunaan BBM, melainkan pada barang dan jasa lainnya. Hal itu terjadi karena kenaikan harga-harga sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis.

Meskipun pemerintah beralasan bahwa kenaikan harga BBM lebih menitikberatkan pada kepentingan masyarakat kecil, diakui atau tidak, dampak terberatnya tetap akan menimpa lapisan ini. Program BLT memang telah dicanangkan, akan tetapi program itu tak akan banyak membantu. Uang Rp 100 ribu sebulan cukup untuk apa? Maka ibarat permen, BLT memang manis tetapi hanya menimbulkan kesenangan sesaat dan sama sekali tidak mengenyangkan!

Ironi Elit Politik
Ironisnya, di tengah-tengah berbagai keprihatian yang dialami masyarakat kecil atas dampak kenaikan harga BBM itu, kita melihat wajah para elit politik berhamburan muncul di berbagai media, baik elektronik, cetak, maupun luar ruang.

Yang dimaksud elit politik di sini adalah para pejabat pemerintah dan para politisi. Mereka muncul dalam berbagai iklan. Ada yang berkaitan dengan sosialisasi kenaikan harga BBM, ada pula yang kontra kenaikan BBM. Yang terbanyak mengambil momentum “100 Tahun Kebangkitan Nasional”. Semua iklan itu tidak lain adalah demi pencitraan diri yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan Pemilu 2009.

Secara normatif tidak ada yang perlu dicemaskan dari contents yang disampaikan para elit politik itu. Semua baik-baik saja. Semua ingin agar bangsa dan negara ini lebih maju. Tapi dari sisi contect, rasanya iklan-iklan itu kurang tepat, terutama jika dilihat dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan, sementara di sisi lain masyarakat kecil atau kaum alit sedang terhimpit kesulitan hidup.

Mari kita mencoba menghitung-hitung berapa uang yang menguap dari para elit politik demi pencitraan diri, kebijakan, atau partainya itu. Menurut Associate Media Director Hotline Advertising Zainul Muhtadin, pada Pemilu 2004 saja biaya iklan kampanye setiap calon adalah Rp 60-100 milyar. Sekarang minimal setiap calon harus menyiapkan minimal Rp 100 milyar (tempointeraktif.com 24/01/08).

Kita ambil contoh Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir (SB). Dalam laporan Jawa Pos (25/05/08), sehari iklan SB di televisi bisa tayang 180 kali. Jika iklan SB mengambil jam-jam utama (prime time), yang bertarif sekitar Rp 20 juta per slot (30 detik) sekali tayang, maka biaya iklan berdurasi 60 detik itu bisa mencapai Rp 7,2 milyar per hari. Sementara sudah tiga pekan iklan itu ditayangkan. Jika kita ambil 21 hari tayang x Rp. 7,2 milyar = Rp. 151,2 milyar. Angka yang cukup fantastis!

Sementara SB juga gencar beriklan di radio, media cetak, media luar ruang, bahkan bioskop. Misalnya, untuk iklan media cetak, SB memasang iklan 1 halaman penuh. Untuk ukuran koran nasional seperti Jawa Pos, tarif iklan full colour 1 halaman penuh bisa mencapai Rp 300-an juta. Hitungannya adalah satu halaman penuh ada 7 kolom x 540 mm x Rp 91.200/mmk = Rp 344,736 juta. Sementara SB juga memasang iklan di koran nasional lainnya. Katakanlah kita mengambil 10 koran saja dengan rata-rata tarif Rp. 250 juta x 10 koran = Rp. 2,5 milyar.

Sementara Pemilu 2009 masih setahun lagi. Dan data di atas baru berkaitan dengan SB. Kita belum menghitung uang yang dibelanjakan untuk iklan pencitraran diri politisi lain sampai setahun ke depan. Ada Prabowo Subiyanto dengan membawa bendera HKTI, Wiranto dan Fuad Bawazier dengan Hanura-nya.

Ada pula iklan Jubir Presiden Andi Mallarangeng, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Karena membawa misi pemerintah dalam sosialisasikan kenaikan harga BBM, pasti biayanya ditanggung pemerintah. Bahkan kita pun dijejali oleh iklan sang antor film Deddy Mizwar yang membawa misi “100 Tahun Kebangkitan Nasional, Indonesia Bisa”.

Berputar Seputar Orang Kaya
“Demokrasi itu mahal Bung. Untuk pemilihan internal saja, Obama hingga saat ini sudah menghabiskan Rp 2 trilyun …” kata Rizal Mallarangeng pimpinan Fox Indonesia yang memuat konsep iklan SB seperti dikutip Jawa Pos.
Ada tiga keberatan atas pernyataan Rizal di atas. Pertama, Indonesia bukan Amerika Serikat (AS) Bung! Jadi kurang tepat jika hendak menyeret demokrasi Indonesia seperti domokrasi AS yang mahal itu. Sementara GNP Indonesia cuma 1.110 $US/kapita dibanding AS yang mencapai 37.870 $US/kapita.
Apakah kita akan memaksakan sebuah demokrasi mahal di tengah-tengah masyarakat miskin?

Kedua, mahalnya demokrasi Indonesia itu ternyata sebagian besar tersalurkan pada orang-orang kaya. Memang, harus diakui masyarakat kecil juga mendapat cipratan rezeki dari maraknya kampanye para politisi itu seperti mendapatkan sepotong kaos atau sekilo gram sembako. Tapi nilainya masih sangat jauh dibanding rezeki yang mengalir deras ke kocek pemilik televisi, koran, majalah, radio, biro iklan atau agency, yang notabane-nya adalah orang-orang yang sudah kaya!

Dari sini kita berhak mempertanyakan, sebenarnya demokrasi yang dibiayai mahal itu untuk siapa? Benarkah untuk menyejahterakan rakyat seperti yang digembar-gemborkan dalam berbagai iklan itu? Atau malah sebaliknya demokrasi adalah mainan baru orang-orang kaya? Bermain-main dengan pencitraan karena telah berlimpah harta kekayaan?

Maka tidak salah jika Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi pernah mengusulkan untuk mengembalikan pemilihan langsung kepala daerah kepada pemilihan oleh anggota DPRD seperti dulu. Di era kebebasan politik seperti sekarang, tentu usul seperti ini tidak populer, bahkan dianggap setback.

Tetapi mengingat biaya pencitraan diri para calon presiden, gubernur, dan bupati/walikota atau calon anggota DPR, DPRD, atau begitu besar (apalagi masa kampanye Pemilu 2009 sudah dimulai dari bulan Juli 2008), usul seperti ini perlu dipertimbangkan kembali secara jernih. Atau jika hal itu masih dianggap berat, apakah tidak sebaiknya, misalnya, ketentuan tentang money politic didefinisikan ulang atau diperlonggar. Artinya, daripada milyaran uang dihamburkan untuk membiayai iklan pencitraan diri, apakah tidak lebih tepat sasaran jika diberikan pada masyarakat, misalnya sebagai modal usaha.

Tentu alternatif ini bukan tanpa risiko, misalnya meninabobokan masyarakat dengan budaya meminta atau menunggu dana bantuan politisi. Tetapi jika itu lebih menyelamatkan kaum alit di tengah krisis akibat kenaikan harga minyak dan pangan dunia ini, mengapa tidak! Toh saya yakin, dengan cara itu citra elit politik tidak kalah terhormat dibanding dengan cara beriklan!

Ketiga, yang patut juga dipertanyakan lebih jauh adalah, para elit berani “bertaruh” milyaran rupiah untuk marketing politiknya itu sebenarnya bertujuan apa?

Dalam dunia bisnis marketing digarap untuk menaikkan penjualan (meski oleh beberapa perusahaan besar, iklan bukan sekedar berkaitan dengan penjualan melainkan salah satu upaya pencitraan, tapi ujung-ujungnya tetap untuk menaikkan keuntungan financial perusahaan). Dengan peningkatan penjualan, maka akan diperoleh peningkatan profit margin. Nah, segala biaya iklan itu tentu ada hitungan-hitungan bisnisnya.

Pertanyaannya, dalam dunia politik, dari mana biaya pencitraan atau kampanye yang milyaran itu dianggarkan? Atau pertanyaan nakalnya, akan diganti dari mana? Apakah mengikuti hitungan-hitungan bisnis juga?

Mungkin ada yang benar-benar mengorbankan kekayaannya untuk mencapai kekuasaan, yang kekuasaan itu akan dipakai untuk sebuah cita-cita mulia, menyejahterakan masyarakat! Tapi saya kurang yakin jika itu menjadi mainstream para elit politik kita!

Kita kuatir jika biaya milyaran rupiah itu adalah modal yang harus dikeluarkan, yang dalam perhitungan bisnis-politiknya akan balik modal (BEP) sekian tahun dan setelah itu akan mengalir keuntungan demi keuntungan! Lantas dari mana modal itu kembali? Dari gaji sebagai pejabat? Berapa puluh tahun harus menjabat agar bisa memperoleh gaji yang cukup untuk mengembalikan modal pencitraan yang milyaran itu? Sementara masa jabatan hanya lima tahun. Atau jangan-jangan ….?
Nah, jika para elit tetap bersikukuh membangun citranya dengan milyaran rupiah di tengah sejumlah keprihatinan, bisa jadi akan menjadi sebuah boomerang. Rakyat akan berpikir seribu kali untuk terlibat dalam pesta orang-orang kaya dalam demokrasi. Maka pilihan golput bukan omong kosong!(*)

Sunday, September 7, 2008

Radio Buruk, Data Riset “Dibelah”

Ini ada tulisan tentang Riset Radio dan komentar 2 orang Manager Hebat dari Nielsen Media Research, Ika Jatmikasari dan Maika Randini.Juni 26, 2007
Ada masalah klasik yang selama ini bergelayut di kalangan industri radio, yaitu masalah data radio. Soal satu ini hingga kini seakan menjadi momok menakutkan. Apalagi kalau data itu menyangkut eksistensi jumlah pendengar radio, tak jarang pemilik radio yang “tersinggung” dengan data tersebut menampik apa yang tercantum di dalamnya. Berbagai alasan dikemukakan. Tidak heran bila data-data yang terkait dengan industri radio darimanapun datangnya disikapi dengan apatis.Data yang dihasilkan Nielsen Media Research (NMR) misalnya, hingga kini tak sedikit pengelola radio yang alergi dengannya. Apalagi kalau nama radionya tidak tampil atau data yang tertera sedikit kurang menguntungkan, sikap reaktif pun bermunculan.Beli Data Aspal?Ironisnya, di tengah sikap alergi seperti itu, tak sedikit pengelola radio yang sempat terkecoh oleh adanya data-data radio yang terkesan asli tapi pada kenyataannya data itu palsu (aspal). Jual beli data “aspal” itu dilakukan orang-orang yang tak bertanggungjawab dengan niat mendongkrak prestis radio yang diincarnya. Data-data itu menyampaikan informasi kuantitatif yang prestisius sebagaimana diminta pengelola radio bersangkutan. Dengan kata lain, informasi data itu bisa menguntungkan radio tersebut di mata pengiklan. Parahnya, oknum penjual data meyakinkan pembeli data bahwa data yang dijualnya berdasarkan survei yang dilakukannya dan diakuinya data tersebut data yang “tersisa” dari survei yang dilakukan Nielsen. Praktek seperti ini sempat tersebar di sebagian kalangan pelaku bisnis radio.Praktek jual beli data aspal yang mengatasnamakan Nielsen ini tentu saja cukup meresahkan.Diakui Ika Jatmikasari, Senior Manager – Client Service ACNielsen Indonesia, kejadian serupa pernah dialami Nielsen sekitar dua tahun lalu. Tapi pada waktu itu kejadian tersebut bisa diklarifikasi dan pelaku jual beli data aspal itu sudah dituntut Nielsen.Menanggapi kabar terbaru yang berkembang di kalangan komunitas bisnis radio komersial tersebut, Ika menegaskan agar pelaku industri radio tidak percaya begitu saja dengan penawaran tersebut. Pasalnya, Nielsen selalu bersikap tegas dan hati-hati terhadap mereka yang memerlukan data media Nielsen. Ika menyarankan agar pebisnsi radio sebaiknya melakukan cek legalitas dan client service yang menawarkan data tersebut. “Kalau ada keraguan pemilik media terhadap orang yang mengaku menjual data Nielsen, silakan cek ke sini karena client service kami hanya ada tujuh orang,” Ika kembali menyarankan.Ditegaskannya pula bahwa selama ini untuk memperoleh data Nielsen, pengguna data harus mengikat kontrak kerjasama dengan Nielsen.Salah satu kontrak itu menegaskan bahwa data-data yang menyangkut pemilik media hanya boleh digunakan olehnya dan oleh si kliennya yang mana data itu diperoleh dari si pemilik perangkat lunak tersebut, dalam hal ini Nielsen sendiri. “Data tersebut tidak boleh diperjualbelikan kepada pihak lain,” tegas Ika mengingatkan.Terlebih bila data itu hanya berkaitan dengan kebutuhan pemilik media semata (customized data), dalam hal ini pemilik radio, Ika menginformasikan bahwa Nielsen akan membantu pihak radio tersebut mulai dari metodologi yang digunakan, respondennya siapa, area surveinya di mana dan bahkan siapa client service Nielsen yang in-charge di radio bersangkutan. Semua itu dilakukan secara transparan sesuai kemauan pemilik radio.”Klien yang berhak menentukan karena mereka yang bayar,” papar Ika.Menanggapi adanya kasus tersebut menunjukkan lemahnya kontrol Nielsen atas data media yang ada, Ika menyanggahnya. Masalah kontrol, diakuinya agak sulit dilakukan karena praktek jual beli data “aspal” seperti itu di luar jangkauannya.Andalkan Riset InternalKasus seperti itu sebenarnya juga mencerminkan bahwa banyak pihak yang begitu berkepentingan dengan bisnis radio saat ini, termasuk dalam hal ini kalangan lembaga riset media. Di mata Ari Maricar, salah seorang konsultan manajemen radio di Jawa Timur, keadaan seperti harus dipahami kalangan pelaku bisnis radio. Pasalnya, menurut Ari, para pelaku industri radio dengan seluruh aktivitas yang dimilikinya hingga kini belum mampu menjawab kebutuhan para pemangku kepentingan tersebut.“Riset menyangkut media radio berada pada lingkup perhatian yang tidak terlampau luas bagi publik,” begitu pengamatan Ari. Kepedulian atas riset media radio hingga sekarang tidak mengalami pergeseran. Paling-paling hanya terkait pada kebutuhan penyelenggara radio dan pengguna jasa iklan radio. “Tapi, ironisnya, di tingkat penyelenggara radio tidak banyak yang peduli terhadap angka-angka hasil penelitian khalayak media radio,” jelas Ari menyesalkan.Apa yang dikemukakan Ari ada benarnya. Hampir sebagian besar pelaku bisnis radio masih minim menggunakan data riset radio yang dikeluarkan lembaga riset media yang ada. Kebanyakan lebih suka melakukan riset yang dilakukan secara internal. Kalaupun ada data dari lembaga riset media independen, itupun sekadar pelengkap semata.“Kami pelanggan Nielsen walaupun saya tidak terlalu mempercayainya,” demikian pengakuan Myra Suroso, General Manager U-FM. Ketidakpercayaan itu menurutnya dikarenakan sampai saat ini belum ada tolak ukur yang sama di lingkungan industri radio untuk memandang riset radio independen.Hal senada diungkapkan Bimo Bayu D. Nimpuno, Service & Marketing Director Radio Republik Indonesia (RRI). “Kita memang nggak punya data yang secara umum bisa diterima secara industri,” demikian tutur Bayu.Nah, untuk mengatasi keadaan seperti itu riset internal menjadi satu pilihan terbaik. Sebagaimana yang dilakukan U-FM sendiri. “Kami punya riset sendiri di berbagai hal, terutama dari data base SMS,” imbuh Myra.Hal serupa juga diaplikasikan Sonora FM Jakarta. ”Kami punya data berapa banyak mereka yang merespon dalam acara tertentu yang kemudian kami kumpulkan,” Andrey Andoko, Marketing Manager Sonora menuturkan. Data-data riset internal seperti itulah yang biasanya ditawarkan pihaknya kepada pengiklan. Tapi sayangnya, diakui Andrey, hasilnya masih belum memuaskan.Jadikan CerminSikap ragu sebagian pelaku industri radio di Indonesia terhadap riset media seperti itu memang sah-sah saja. Kepercayaan terhadap hasil riset memang relatif. Ini mengingat riset radio di Indonesia terbilang muda, dibanding usia industri ini yang sudah berumur tiga dekade lebih. Nielsen sendiri mulai melakukan riset radio pada 1997, namun kemudian terhenti hingga pada 2001 kembali mulai melakukan riset radio.Salah satu problem mengapa mereka jarang melakukan riset maupun memanfaatkan data riset dari lembaga riset media di luar dikarenakan harga data dan biaya riset yang terbilang mahal. Sekali riset, pelaku indsutri bisa mengeluarkan biaya belasan hingga puluhan juta. Tapi itu pun relatif. Riset bisa dibilang mahal bila ternyata data hasil riset medianya ternyata buruk di mata mereka. Sebaliknya bisa dikatakan murah bila hasil risetnya juga bagus dan bisa menjual.Karena itu banyak radio yang mengandalkan riset internalnya sendiri. Bisa memakan biaya yang tidak terlalu besar memang. Hanya saja sejauhmana validitas hasil riset itu bisa dipercaya tergantung metode riset yang digunakan. Tapi akan komprehensif bila hasil riset internal dilengkapi data riset independen yang dilakukan lembaga riset media. Ada upaya saling melengkapi.Nielsen sendiri menegaskan bahwa data riset medianya tidak bisa dijadikan satu-satunya alat atau benchmarking dalam memasarkan media. Riset internal radio tetap sah-sah saja dijadikan alat pemasarannya. Tapi kalau ada penggabungan data pihaknya dengan data riset internal bukan berarti data itu saling terkait.“Bukan berarti kami merasa hal itu sebagai kompetisi, karena masing-masing data itu kan jelas berbeda,” kata Ika. Dirinya hanya mengingatkan jangan sampai hasil riset internal malah dijadikan bahan untuk menilai buruk data riset hasil lembaga riset media independen. “Karena justru hal itu akan memperburuk keadaan industri,” jelasnya.Sikap apatis pelaku bisnis radio terhadap riset media tampaknya harus dijadikan cermin introspeksi terhadap industri radio secara keseluruhan. Pelaku bisnis radio perlu bercermin pada kalangan media lain, cetak dan televisi, yang memandang riset media begitu antusias. Data buruk mengenai media bukan berarti mereka harus memecahkan cermin data yang dipakainya.“Jangan sampai melihatnya dari sisi yang salah,” harap Manager Business Development ACNielsen Indonesia Maika Randini menambahkan.Hal sama diingatkan Ari bahwa data riset radio darimanapun asalnya tetaplah penting. Bagaimanapun data riset media berperan dalam meningkatkan kemajuan industri radio sendiri. Yang pasti, kalangan radio sejak dini musti paham bahwa riset radio menjadi bahan koreksi bagi pelaku bisnis ini. “Bukankah dengan bercermin diri kita bisa melakukan banyak hal agar penampilan kita lebih baik?” tanya Ari. Untuk menjawaba pertanyaan itu tentu tergantung industri sendiri.

Thursday, September 4, 2008

profil crew marketing

- Profil Marketing Team -


· Nama : Hanny Yudhonegoro (Hanny)
· Jabatan : Marketing Manager
· Hp / Ph : 081.331.94.999
· E-mail : hanny.yudhonegara@arek-televisi.tv
· Motto : Play with heart...


(sabar ya bu, semua pasti ada hikmahnya...)




· Nama : Linda Felany (Vella)
· Jabatan : Marketing Supervisor
· Hp / Ph : 081.2350.8811 ; 031 - 6057.8811
· E-mail : vella_velinda@yahoo.com atau linda.felany@arek-televisi.tv
· Motto : masoek, makan tusuk

(target selanjutnya siapa yach..)



· Nama : Sheila Juniar (Sheila)
· Jabatan : Maketing Executive
· Hp / Ph : 081.730.5334
· E-mail : thisisme_sheila@yahoo.com atau sheila.junniar@arek-televisi.tv
· Motto : make it work

(hai, semua.. anda mau kompensasi apa dari saya...)


· Nama : Sekar Arum (Arum)
· Jabatan : Marketing Executive
· Tempat, tgl lahir : Jakarta, 29 September
· Hp / Ph : 031-6049.8934
· E-mail : arum_bgt@yahoo.co.id
· Motto : Bagaimana caranya aq…..???

(hemm..beratnya hidup ini ?!)



· Nama : Riza Yohansyah (Riza)
· Jabatan : Maketing Executive
· Tempat, tgl lahir : Surabaya, 20 Juli
· Hp / Ph : 0858.5002.0298 ; 031 – 7139.1376
· E-mail : yohansyeahrieza@yahoo.com atau riza.yohansyah@arek-televisi.tv
· Motto : Let It Flow….

(tenang sob qt pasti bisa !!!)




· Nama : B. F. Kurniawan (Wawan)
· Jabatan : Marketing Executive
· Hp / Ph : 081.132.4090 ; 031 - 7070.3033
· E-mail : wawan_sby@yahoo.com atau bf.kurniawan@arek-televisi.tv
· Motto : be yourself


(sepertinya tahun ini target kita memenuhi...?)




· Nama : Miftahul Ghufron (Ghufron)
· Jabatan : Maketing Riset
· Hp / Ph : 081.2306.0426
· E-mail : okape_97@yahoo.com atau mr.miftahul@arek-televisi.tv
· Motto : Sst..bicaralah sesuai data, jgn data yg dibicarakan
(anda ingin saya riset ?! hubungi ...)

Tak Lagi Riset Dimonopoli

Setelah bertahun-tahun memonopoli jalur riset media, SRI-AC Nielsen mendapat pesaing baru. Perencana media makin bingung?

MENJADI perencana media, sekarang ini, tentu tidak mudah. Mereka akan dipusingkan dengan urusan memilih media cetak yang paling pas untuk mengiklankan produknya. Bagaimana tak pusing, Media yang ditawarkan begitu banyak, sementara anggaran beriklan makin menyusut. Apalagi bila ratusan media yang sudah mengantongi surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) benar-benar sudah mengguyur pasar.
Para perencana media tidak bisa mengandalkan intuisi atau pengamatan mereka sendiri. Mereka memerlukan hasil survei media yang antara lain mengukur perkiraan jumlah pembaca media cetak, informasi tentang unsur-unsur demografi, serta tingkat konsumsi terhadap produk barang dan jasa.
Selama ini, kalangan media boleh dikatakan bergantung pada lembaga riset Survey Research Indonesia (SRI) yang kini bermitra dengan AC Nielsen. Hasil riset lembaga ini memang seperti menjadi buku pedoman wajib bagi pengiklan, biro iklan, serta media cetak dan televisi. Maklum, lembaga riset "raksasa" ini hampir tak punya pesaing berarti.
"Jadinya kami terkadang didikte SRI. Kalau enggak mau, ya sudah. Padahal kami butuh data. Sementara itu, enggak ada biro riset yang lain,?? kata Zaenal Muhtadin, perencana media dari biro iklan Hotline. Keluhan lainnya, "Software SRI sering rusak. Repotnya kalau kontak ke SRI untuk minta diperbaiki dan mereka bilang harus nunggu karena ahlinya dipakai di agensi lain. Ini membuat pekerjaan tertunda,?? ujar Anton Ardiantoro, manajer media biro iklan Kreasindo-Leo Burnett.
Syukur, sekarang ada pilihan lain. SRI-AC Nielsen tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga di bidang riset media di Indonesia. Bulan ini muncul lembaga riset media yang juga termasuk perusahaan riset papan atas: Taylor Nelson Sofres (TNS). Ini kelompok perusahaan konsultan penelitian dan pemasaran hasil merger Taylor Nelson (Amerika), Sofres (Prancis), dan Frank Small Associates (Australia). Di dunia, perusahaan ini berada di peringkat keempat dengan pendapatan tahunan US$ 440 juta.
Memang TNS masih di bawah AC Nielsen, yang peringkatnya ada di pucuk tertinggi di dunia dengan pendapatan per tahun mencapai rata-rata US$ 1,36 miliar. Karena itu, SRI-AC Nielsen memang terlalu kuat untuk disaingi. Biro riset Surindo, misalnya, pernah sekali mencoba menyaingi SRI-AC Nielsen pada 1995 untuk memetakan konsumen produk ke dalam kategori psikologis. Respondennya hanya 2.500 orang dan mereka "kalah".
Kini TNS menantang dengan 9.000 responden--sama dengan jumlah responden yang dipergunakan SRI-AC Nielsen. Tapi penyebaran responden TNS lebih luas. Sementara SRI-AC Nielsen hanya menjangkau sembilan kota besar di Indonesia, TNS menjangkau 17 kota besar. Selain itu, sementara riset pesaingnya hanya dilakukan sekali setahun, dalam waktu yang sama TNS melakukan riset dua kali.
Gentarkah SRI-AC Nielsen? ??Manakala konsumen memiliki pilihan, mereka akan melakukan seleksi,?? kata Rita Dumais, direktur media SRI-AC Nielsen, dalam jawaban tertulis kepada TEMPO. Meski jangkauan riset TNS lebih besar, SRI-AC Nielsen tak terlalu khawatir. ??Jangkauan kota yang besar belum tentu dapat memberikan jumlah sampel yang cukup di setiap kota untuk memenuhi analisis sampai tingkat makro,?? kata Rita. Lagi pula, Rita yakin, survei media harus dilakukan bukan atas dasar pesanan, supaya bisa menjadi tolok ukur untuk industri.
TNS memang melakukan survei atas pesanan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Untuk memenuhi pesanan tersebut, TNS melakukan dua hal sekaligus: riset radio sekalian media cetak. Karena itu, riset TNS bisa dijual dengan harga yang lebih miring. Sementara paket-paket riset yang ditawarkan SRI-AC Nielsen kisaran harganya dari Rp 3 juta sampai Rp 51 juta, paket TNS yang termahal hanya Rp 12 juta. Menurut Ade Armandi, manajer riset media TNS, pemakai data bahkan bisa memesan sesuai dengan kebutuhan mereka. ??Istilahnya bisa di-customized,?? ujar Ade.
Apakah riset SRI-AC Nielsen lantas tak menarik untuk dilirik? Tunggu dulu. ??TNS perlu melakukan edukasi pasar. Misalnya memberikan contoh data penelitian yang telah dilakukannya, lalu menunjukkan perbedaannya dengan SRI-AC Nielsen,?? ujar manajer pemasaran harian Media Indonesia, Arif Hidayat Thamrin. Kalau tidak, jangan-jangan malah bikin bingung pemakainya.