Thursday, September 18, 2008

Pencitraan Elit dan Kesulitan Kaum Alit

Posted Juni 12, 2008 by Mohammad Nurfatoni
Artikel ini dimuat Buletin Hanif, edisi tanggal 6 & 13 Juni 2008

Kenaikan harga BBM telah dipatok pemerintah. Dampak dari kenaikan itu segera dirasakan masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Transportasi misalnya adalah salah satu sektor yang segera mengikutinya. Tak terelakan, kenaikan ini akan menimbulkan efek domino.

Kenaikan harga bukan saja akan menimpa pada barang atau jasa yang berhubungan langsung dengan penggunaan BBM, melainkan pada barang dan jasa lainnya. Hal itu terjadi karena kenaikan harga-harga sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis.

Meskipun pemerintah beralasan bahwa kenaikan harga BBM lebih menitikberatkan pada kepentingan masyarakat kecil, diakui atau tidak, dampak terberatnya tetap akan menimpa lapisan ini. Program BLT memang telah dicanangkan, akan tetapi program itu tak akan banyak membantu. Uang Rp 100 ribu sebulan cukup untuk apa? Maka ibarat permen, BLT memang manis tetapi hanya menimbulkan kesenangan sesaat dan sama sekali tidak mengenyangkan!

Ironi Elit Politik
Ironisnya, di tengah-tengah berbagai keprihatian yang dialami masyarakat kecil atas dampak kenaikan harga BBM itu, kita melihat wajah para elit politik berhamburan muncul di berbagai media, baik elektronik, cetak, maupun luar ruang.

Yang dimaksud elit politik di sini adalah para pejabat pemerintah dan para politisi. Mereka muncul dalam berbagai iklan. Ada yang berkaitan dengan sosialisasi kenaikan harga BBM, ada pula yang kontra kenaikan BBM. Yang terbanyak mengambil momentum “100 Tahun Kebangkitan Nasional”. Semua iklan itu tidak lain adalah demi pencitraan diri yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan Pemilu 2009.

Secara normatif tidak ada yang perlu dicemaskan dari contents yang disampaikan para elit politik itu. Semua baik-baik saja. Semua ingin agar bangsa dan negara ini lebih maju. Tapi dari sisi contect, rasanya iklan-iklan itu kurang tepat, terutama jika dilihat dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan, sementara di sisi lain masyarakat kecil atau kaum alit sedang terhimpit kesulitan hidup.

Mari kita mencoba menghitung-hitung berapa uang yang menguap dari para elit politik demi pencitraan diri, kebijakan, atau partainya itu. Menurut Associate Media Director Hotline Advertising Zainul Muhtadin, pada Pemilu 2004 saja biaya iklan kampanye setiap calon adalah Rp 60-100 milyar. Sekarang minimal setiap calon harus menyiapkan minimal Rp 100 milyar (tempointeraktif.com 24/01/08).

Kita ambil contoh Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir (SB). Dalam laporan Jawa Pos (25/05/08), sehari iklan SB di televisi bisa tayang 180 kali. Jika iklan SB mengambil jam-jam utama (prime time), yang bertarif sekitar Rp 20 juta per slot (30 detik) sekali tayang, maka biaya iklan berdurasi 60 detik itu bisa mencapai Rp 7,2 milyar per hari. Sementara sudah tiga pekan iklan itu ditayangkan. Jika kita ambil 21 hari tayang x Rp. 7,2 milyar = Rp. 151,2 milyar. Angka yang cukup fantastis!

Sementara SB juga gencar beriklan di radio, media cetak, media luar ruang, bahkan bioskop. Misalnya, untuk iklan media cetak, SB memasang iklan 1 halaman penuh. Untuk ukuran koran nasional seperti Jawa Pos, tarif iklan full colour 1 halaman penuh bisa mencapai Rp 300-an juta. Hitungannya adalah satu halaman penuh ada 7 kolom x 540 mm x Rp 91.200/mmk = Rp 344,736 juta. Sementara SB juga memasang iklan di koran nasional lainnya. Katakanlah kita mengambil 10 koran saja dengan rata-rata tarif Rp. 250 juta x 10 koran = Rp. 2,5 milyar.

Sementara Pemilu 2009 masih setahun lagi. Dan data di atas baru berkaitan dengan SB. Kita belum menghitung uang yang dibelanjakan untuk iklan pencitraran diri politisi lain sampai setahun ke depan. Ada Prabowo Subiyanto dengan membawa bendera HKTI, Wiranto dan Fuad Bawazier dengan Hanura-nya.

Ada pula iklan Jubir Presiden Andi Mallarangeng, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Karena membawa misi pemerintah dalam sosialisasikan kenaikan harga BBM, pasti biayanya ditanggung pemerintah. Bahkan kita pun dijejali oleh iklan sang antor film Deddy Mizwar yang membawa misi “100 Tahun Kebangkitan Nasional, Indonesia Bisa”.

Berputar Seputar Orang Kaya
“Demokrasi itu mahal Bung. Untuk pemilihan internal saja, Obama hingga saat ini sudah menghabiskan Rp 2 trilyun …” kata Rizal Mallarangeng pimpinan Fox Indonesia yang memuat konsep iklan SB seperti dikutip Jawa Pos.
Ada tiga keberatan atas pernyataan Rizal di atas. Pertama, Indonesia bukan Amerika Serikat (AS) Bung! Jadi kurang tepat jika hendak menyeret demokrasi Indonesia seperti domokrasi AS yang mahal itu. Sementara GNP Indonesia cuma 1.110 $US/kapita dibanding AS yang mencapai 37.870 $US/kapita.
Apakah kita akan memaksakan sebuah demokrasi mahal di tengah-tengah masyarakat miskin?

Kedua, mahalnya demokrasi Indonesia itu ternyata sebagian besar tersalurkan pada orang-orang kaya. Memang, harus diakui masyarakat kecil juga mendapat cipratan rezeki dari maraknya kampanye para politisi itu seperti mendapatkan sepotong kaos atau sekilo gram sembako. Tapi nilainya masih sangat jauh dibanding rezeki yang mengalir deras ke kocek pemilik televisi, koran, majalah, radio, biro iklan atau agency, yang notabane-nya adalah orang-orang yang sudah kaya!

Dari sini kita berhak mempertanyakan, sebenarnya demokrasi yang dibiayai mahal itu untuk siapa? Benarkah untuk menyejahterakan rakyat seperti yang digembar-gemborkan dalam berbagai iklan itu? Atau malah sebaliknya demokrasi adalah mainan baru orang-orang kaya? Bermain-main dengan pencitraan karena telah berlimpah harta kekayaan?

Maka tidak salah jika Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi pernah mengusulkan untuk mengembalikan pemilihan langsung kepala daerah kepada pemilihan oleh anggota DPRD seperti dulu. Di era kebebasan politik seperti sekarang, tentu usul seperti ini tidak populer, bahkan dianggap setback.

Tetapi mengingat biaya pencitraan diri para calon presiden, gubernur, dan bupati/walikota atau calon anggota DPR, DPRD, atau begitu besar (apalagi masa kampanye Pemilu 2009 sudah dimulai dari bulan Juli 2008), usul seperti ini perlu dipertimbangkan kembali secara jernih. Atau jika hal itu masih dianggap berat, apakah tidak sebaiknya, misalnya, ketentuan tentang money politic didefinisikan ulang atau diperlonggar. Artinya, daripada milyaran uang dihamburkan untuk membiayai iklan pencitraan diri, apakah tidak lebih tepat sasaran jika diberikan pada masyarakat, misalnya sebagai modal usaha.

Tentu alternatif ini bukan tanpa risiko, misalnya meninabobokan masyarakat dengan budaya meminta atau menunggu dana bantuan politisi. Tetapi jika itu lebih menyelamatkan kaum alit di tengah krisis akibat kenaikan harga minyak dan pangan dunia ini, mengapa tidak! Toh saya yakin, dengan cara itu citra elit politik tidak kalah terhormat dibanding dengan cara beriklan!

Ketiga, yang patut juga dipertanyakan lebih jauh adalah, para elit berani “bertaruh” milyaran rupiah untuk marketing politiknya itu sebenarnya bertujuan apa?

Dalam dunia bisnis marketing digarap untuk menaikkan penjualan (meski oleh beberapa perusahaan besar, iklan bukan sekedar berkaitan dengan penjualan melainkan salah satu upaya pencitraan, tapi ujung-ujungnya tetap untuk menaikkan keuntungan financial perusahaan). Dengan peningkatan penjualan, maka akan diperoleh peningkatan profit margin. Nah, segala biaya iklan itu tentu ada hitungan-hitungan bisnisnya.

Pertanyaannya, dalam dunia politik, dari mana biaya pencitraan atau kampanye yang milyaran itu dianggarkan? Atau pertanyaan nakalnya, akan diganti dari mana? Apakah mengikuti hitungan-hitungan bisnis juga?

Mungkin ada yang benar-benar mengorbankan kekayaannya untuk mencapai kekuasaan, yang kekuasaan itu akan dipakai untuk sebuah cita-cita mulia, menyejahterakan masyarakat! Tapi saya kurang yakin jika itu menjadi mainstream para elit politik kita!

Kita kuatir jika biaya milyaran rupiah itu adalah modal yang harus dikeluarkan, yang dalam perhitungan bisnis-politiknya akan balik modal (BEP) sekian tahun dan setelah itu akan mengalir keuntungan demi keuntungan! Lantas dari mana modal itu kembali? Dari gaji sebagai pejabat? Berapa puluh tahun harus menjabat agar bisa memperoleh gaji yang cukup untuk mengembalikan modal pencitraan yang milyaran itu? Sementara masa jabatan hanya lima tahun. Atau jangan-jangan ….?
Nah, jika para elit tetap bersikukuh membangun citranya dengan milyaran rupiah di tengah sejumlah keprihatinan, bisa jadi akan menjadi sebuah boomerang. Rakyat akan berpikir seribu kali untuk terlibat dalam pesta orang-orang kaya dalam demokrasi. Maka pilihan golput bukan omong kosong!(*)

No comments: