Thursday, September 4, 2008

Tak Lagi Riset Dimonopoli

Setelah bertahun-tahun memonopoli jalur riset media, SRI-AC Nielsen mendapat pesaing baru. Perencana media makin bingung?

MENJADI perencana media, sekarang ini, tentu tidak mudah. Mereka akan dipusingkan dengan urusan memilih media cetak yang paling pas untuk mengiklankan produknya. Bagaimana tak pusing, Media yang ditawarkan begitu banyak, sementara anggaran beriklan makin menyusut. Apalagi bila ratusan media yang sudah mengantongi surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) benar-benar sudah mengguyur pasar.
Para perencana media tidak bisa mengandalkan intuisi atau pengamatan mereka sendiri. Mereka memerlukan hasil survei media yang antara lain mengukur perkiraan jumlah pembaca media cetak, informasi tentang unsur-unsur demografi, serta tingkat konsumsi terhadap produk barang dan jasa.
Selama ini, kalangan media boleh dikatakan bergantung pada lembaga riset Survey Research Indonesia (SRI) yang kini bermitra dengan AC Nielsen. Hasil riset lembaga ini memang seperti menjadi buku pedoman wajib bagi pengiklan, biro iklan, serta media cetak dan televisi. Maklum, lembaga riset "raksasa" ini hampir tak punya pesaing berarti.
"Jadinya kami terkadang didikte SRI. Kalau enggak mau, ya sudah. Padahal kami butuh data. Sementara itu, enggak ada biro riset yang lain,?? kata Zaenal Muhtadin, perencana media dari biro iklan Hotline. Keluhan lainnya, "Software SRI sering rusak. Repotnya kalau kontak ke SRI untuk minta diperbaiki dan mereka bilang harus nunggu karena ahlinya dipakai di agensi lain. Ini membuat pekerjaan tertunda,?? ujar Anton Ardiantoro, manajer media biro iklan Kreasindo-Leo Burnett.
Syukur, sekarang ada pilihan lain. SRI-AC Nielsen tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga di bidang riset media di Indonesia. Bulan ini muncul lembaga riset media yang juga termasuk perusahaan riset papan atas: Taylor Nelson Sofres (TNS). Ini kelompok perusahaan konsultan penelitian dan pemasaran hasil merger Taylor Nelson (Amerika), Sofres (Prancis), dan Frank Small Associates (Australia). Di dunia, perusahaan ini berada di peringkat keempat dengan pendapatan tahunan US$ 440 juta.
Memang TNS masih di bawah AC Nielsen, yang peringkatnya ada di pucuk tertinggi di dunia dengan pendapatan per tahun mencapai rata-rata US$ 1,36 miliar. Karena itu, SRI-AC Nielsen memang terlalu kuat untuk disaingi. Biro riset Surindo, misalnya, pernah sekali mencoba menyaingi SRI-AC Nielsen pada 1995 untuk memetakan konsumen produk ke dalam kategori psikologis. Respondennya hanya 2.500 orang dan mereka "kalah".
Kini TNS menantang dengan 9.000 responden--sama dengan jumlah responden yang dipergunakan SRI-AC Nielsen. Tapi penyebaran responden TNS lebih luas. Sementara SRI-AC Nielsen hanya menjangkau sembilan kota besar di Indonesia, TNS menjangkau 17 kota besar. Selain itu, sementara riset pesaingnya hanya dilakukan sekali setahun, dalam waktu yang sama TNS melakukan riset dua kali.
Gentarkah SRI-AC Nielsen? ??Manakala konsumen memiliki pilihan, mereka akan melakukan seleksi,?? kata Rita Dumais, direktur media SRI-AC Nielsen, dalam jawaban tertulis kepada TEMPO. Meski jangkauan riset TNS lebih besar, SRI-AC Nielsen tak terlalu khawatir. ??Jangkauan kota yang besar belum tentu dapat memberikan jumlah sampel yang cukup di setiap kota untuk memenuhi analisis sampai tingkat makro,?? kata Rita. Lagi pula, Rita yakin, survei media harus dilakukan bukan atas dasar pesanan, supaya bisa menjadi tolok ukur untuk industri.
TNS memang melakukan survei atas pesanan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Untuk memenuhi pesanan tersebut, TNS melakukan dua hal sekaligus: riset radio sekalian media cetak. Karena itu, riset TNS bisa dijual dengan harga yang lebih miring. Sementara paket-paket riset yang ditawarkan SRI-AC Nielsen kisaran harganya dari Rp 3 juta sampai Rp 51 juta, paket TNS yang termahal hanya Rp 12 juta. Menurut Ade Armandi, manajer riset media TNS, pemakai data bahkan bisa memesan sesuai dengan kebutuhan mereka. ??Istilahnya bisa di-customized,?? ujar Ade.
Apakah riset SRI-AC Nielsen lantas tak menarik untuk dilirik? Tunggu dulu. ??TNS perlu melakukan edukasi pasar. Misalnya memberikan contoh data penelitian yang telah dilakukannya, lalu menunjukkan perbedaannya dengan SRI-AC Nielsen,?? ujar manajer pemasaran harian Media Indonesia, Arif Hidayat Thamrin. Kalau tidak, jangan-jangan malah bikin bingung pemakainya.

1 comment:

PEDULI RISET MEDIA said...

iya lah kita hrs creatif lagi biar gak dibodohin lembaga riset kayak gt