Capaian utama dari ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah taqwa (al Baqarah/2:183). Taqwa—seperti kita pahami dari definisi yang diberikan para khatib Jum’at—adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Definisi taqwa seperti itu sangat logis, karena, diantaranya, didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “Kerjakanlah apa yang diwajibkan Allah atasmu, niscaya kamu menjadi orang yang amat bertaqwa kepada Allah.” (R. at-Thahawy). “Seorang hamba tidak akan mencapai golongan muttaqin, sehingga dapat meninggalkan apa-apa yang tidak berdosa karena kawatir masuk dalam apa-apa yang berdosa” (HR Tirmidzi).
Maka, (idealnya) Idul Fitri adalah deklarasi kita sebagai orang bertaqwa, yakni orang yang telah mampu menjalankan keseluruhan perintah Allah dan meninggalkan keseluruhan larangan Allah. Tetapi mari secara jujur kita bertanya pada hati nurani, benarkah pascapuasa Ramadhan kita telah mencapai derajat taqwa? Harapan kita, mudah-mudahan begitu. Tapi berhasilkah?
Mari kita ukur tingkat keberhasilan itu dengan indikator-indikator sederhana sebagai berikut: Allah memerintahkan kita menundukkan pandangan (an Nur/24: 30-31), menghindari kemaksiatan mata; berhasilkah kita menundukkan pandangan di tengah gemerlap “pameran” aurat dan kemaksiatan di hampir seluruh penjuru kota dan media massa? Allah memerintahkan kita mengkonsumsi makanan (barang) halal (al Baqarah/2:168; al Maidah/5:88; an Nahl/16:114); masih mampukah kita membersihkan makanan (barang) yang kita konsumsi dari pencemaran haram di tengah-tengah budaya praktik korupsi birokrasi (pemerintah dan swasta) kita? Allah memerintahkan kita melakukan hukum qisas (al Baqarah/2:178; al Maidah/5:45); betulkah perintah itu kita lakukan, bukankah sampai hari ini hukum itu kita cibir dan campakkan? Allah melarang kita mempraktekkan riba (al Baqarah/2:275; Ali lmran/3:130); berhasilkah kita lepas dari jeratan riba di tengah sistem perbankan yang ditopang oleh riba (bunga?).
Pertanyaan-pertanyaan di atas sesungguhnya untuk menunjukkan betapa tidak semua perintah Allah telah berhasil kita jalankan, sebaliknya tidak semua larangan Allah berhasil kita tinggalkan. Mengapa? Tidak lain dan tidak bukan karena pencapaian ketaqwaan individual mensyaratkan tercapainya ketaqwaan sosial. Dengan kata lain, kita bisa menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan Allah jika sistem yang melingkupi kita cukup kondusif bagi usaha-usaha pencapaian taqwa itu.
Dalam konteks ini, pencapaian derajat taqwa akan sebanding dengan seberapa jauh pintu-pintu kebajikan terbuka lebar-lebar dan pintu-pintu kemaksiatan/kejahatan tertutup rapat-rapat.
Bisa dibayangkan betapa sulitnya tercapai ketaqwaan individual jika perilaku-perilaku baik dan benar masih mendapat hambatan struktural. Bagaimana Muslim kebanyakan bisa naik haji jika haji masih dijadikan sebagai komoditas ekonomi yang mahal? Bagaimana Muslim kebanyakan bisa hidup sejahtera jika peluang untuk bekerja dan berusaha yang benar dihambat oleh sejumlah “kebijakan” penguasa yang hanya menguntungkan segelintir pemilik akses kekuasaan (konglomerat, kroni kekuasaan).
Sebaliknya juga; sulit sekali tercapai ketaqwaan individual jika kemaksiatan dan kejahatan (ekonomi, politik, humaniora, sosial, hukum) masih menghadang kita. Meskipun secara pribadi kita tidak berminat melakukan kemaksiatan dan kejahatan, tetapi jika sistem yang berlaku adalah sistem yang kondusif–bahkan menganjurkan–kemaksiatan dan kejahatan, maka kita pasti akan terkena imbasnya. lbaratnya dosa struktural yang dilakukan oleh sebuah sistem akan berimbas pada dosa individual.
Oleh karena itu pula, pencapaian derajat taqwa berbanding lurus dengan upaya dakwah kita. Janganlah kita terlalu optimis mencapai derajat taqwa pada Idul Fitri kali ini jika secara sadar belum melakukan apa-apa; sebelum kita mendobrak pintu-pintu kebaikan yang terkunci rapat dan menutup pintu-pintu kemaksiatan/kejahatan yang terbuka menganga. Kita jangan merasa mendapat derajat taqwa secara cuma-cuma dan otomatis.
Di sinilah perlunya kita secara bersama-sama melakukan dakwah menuju berlakunya sistem Islam. Sebab dengan berlakunya sistem Islam akan tercipta suasana kondusif bagi pencapaian derajat taqwa. Dengan sistem Islam umat Islam akan terkondisikan—secara sadar atau terpaksa—untuk mampu menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Tidak ada lagi kebijakan normatif yang menghambat umat Islam dalam mewujudkan kebaikan-kebaikan. Tidak ada lagi kebijakan normatif yang menjerat bagi umat Islam untuk berbuat keji dan munkar. Dengan sistem Islam, capaian-capaian taqwa relatif lebih mudah diraih. Meskipun tetap harap diingat bahwa berlakunya sIstem Islam tidak secara otomatis melahirkan ketaqwaan individual. Sebab ketaqwaan itu sebuah proses dan bersifat kualitatif, sulit diukur dan tak berujung.
No comments:
Post a Comment