Ini ada tulisan tentang Riset Radio dan komentar 2 orang Manager Hebat dari Nielsen Media Research, Ika Jatmikasari dan Maika Randini.Juni 26, 2007
Ada masalah klasik yang selama ini bergelayut di kalangan industri radio, yaitu masalah data radio. Soal satu ini hingga kini seakan menjadi momok menakutkan. Apalagi kalau data itu menyangkut eksistensi jumlah pendengar radio, tak jarang pemilik radio yang “tersinggung” dengan data tersebut menampik apa yang tercantum di dalamnya. Berbagai alasan dikemukakan. Tidak heran bila data-data yang terkait dengan industri radio darimanapun datangnya disikapi dengan apatis.Data yang dihasilkan Nielsen Media Research (NMR) misalnya, hingga kini tak sedikit pengelola radio yang alergi dengannya. Apalagi kalau nama radionya tidak tampil atau data yang tertera sedikit kurang menguntungkan, sikap reaktif pun bermunculan.Beli Data Aspal?Ironisnya, di tengah sikap alergi seperti itu, tak sedikit pengelola radio yang sempat terkecoh oleh adanya data-data radio yang terkesan asli tapi pada kenyataannya data itu palsu (aspal). Jual beli data “aspal” itu dilakukan orang-orang yang tak bertanggungjawab dengan niat mendongkrak prestis radio yang diincarnya. Data-data itu menyampaikan informasi kuantitatif yang prestisius sebagaimana diminta pengelola radio bersangkutan. Dengan kata lain, informasi data itu bisa menguntungkan radio tersebut di mata pengiklan. Parahnya, oknum penjual data meyakinkan pembeli data bahwa data yang dijualnya berdasarkan survei yang dilakukannya dan diakuinya data tersebut data yang “tersisa” dari survei yang dilakukan Nielsen. Praktek seperti ini sempat tersebar di sebagian kalangan pelaku bisnis radio.Praktek jual beli data aspal yang mengatasnamakan Nielsen ini tentu saja cukup meresahkan.Diakui Ika Jatmikasari, Senior Manager – Client Service ACNielsen Indonesia, kejadian serupa pernah dialami Nielsen sekitar dua tahun lalu. Tapi pada waktu itu kejadian tersebut bisa diklarifikasi dan pelaku jual beli data aspal itu sudah dituntut Nielsen.Menanggapi kabar terbaru yang berkembang di kalangan komunitas bisnis radio komersial tersebut, Ika menegaskan agar pelaku industri radio tidak percaya begitu saja dengan penawaran tersebut. Pasalnya, Nielsen selalu bersikap tegas dan hati-hati terhadap mereka yang memerlukan data media Nielsen. Ika menyarankan agar pebisnsi radio sebaiknya melakukan cek legalitas dan client service yang menawarkan data tersebut. “Kalau ada keraguan pemilik media terhadap orang yang mengaku menjual data Nielsen, silakan cek ke sini karena client service kami hanya ada tujuh orang,” Ika kembali menyarankan.Ditegaskannya pula bahwa selama ini untuk memperoleh data Nielsen, pengguna data harus mengikat kontrak kerjasama dengan Nielsen.Salah satu kontrak itu menegaskan bahwa data-data yang menyangkut pemilik media hanya boleh digunakan olehnya dan oleh si kliennya yang mana data itu diperoleh dari si pemilik perangkat lunak tersebut, dalam hal ini Nielsen sendiri. “Data tersebut tidak boleh diperjualbelikan kepada pihak lain,” tegas Ika mengingatkan.Terlebih bila data itu hanya berkaitan dengan kebutuhan pemilik media semata (customized data), dalam hal ini pemilik radio, Ika menginformasikan bahwa Nielsen akan membantu pihak radio tersebut mulai dari metodologi yang digunakan, respondennya siapa, area surveinya di mana dan bahkan siapa client service Nielsen yang in-charge di radio bersangkutan. Semua itu dilakukan secara transparan sesuai kemauan pemilik radio.”Klien yang berhak menentukan karena mereka yang bayar,” papar Ika.Menanggapi adanya kasus tersebut menunjukkan lemahnya kontrol Nielsen atas data media yang ada, Ika menyanggahnya. Masalah kontrol, diakuinya agak sulit dilakukan karena praktek jual beli data “aspal” seperti itu di luar jangkauannya.Andalkan Riset InternalKasus seperti itu sebenarnya juga mencerminkan bahwa banyak pihak yang begitu berkepentingan dengan bisnis radio saat ini, termasuk dalam hal ini kalangan lembaga riset media. Di mata Ari Maricar, salah seorang konsultan manajemen radio di Jawa Timur, keadaan seperti harus dipahami kalangan pelaku bisnis radio. Pasalnya, menurut Ari, para pelaku industri radio dengan seluruh aktivitas yang dimilikinya hingga kini belum mampu menjawab kebutuhan para pemangku kepentingan tersebut.“Riset menyangkut media radio berada pada lingkup perhatian yang tidak terlampau luas bagi publik,” begitu pengamatan Ari. Kepedulian atas riset media radio hingga sekarang tidak mengalami pergeseran. Paling-paling hanya terkait pada kebutuhan penyelenggara radio dan pengguna jasa iklan radio. “Tapi, ironisnya, di tingkat penyelenggara radio tidak banyak yang peduli terhadap angka-angka hasil penelitian khalayak media radio,” jelas Ari menyesalkan.Apa yang dikemukakan Ari ada benarnya. Hampir sebagian besar pelaku bisnis radio masih minim menggunakan data riset radio yang dikeluarkan lembaga riset media yang ada. Kebanyakan lebih suka melakukan riset yang dilakukan secara internal. Kalaupun ada data dari lembaga riset media independen, itupun sekadar pelengkap semata.“Kami pelanggan Nielsen walaupun saya tidak terlalu mempercayainya,” demikian pengakuan Myra Suroso, General Manager U-FM. Ketidakpercayaan itu menurutnya dikarenakan sampai saat ini belum ada tolak ukur yang sama di lingkungan industri radio untuk memandang riset radio independen.Hal senada diungkapkan Bimo Bayu D. Nimpuno, Service & Marketing Director Radio Republik Indonesia (RRI). “Kita memang nggak punya data yang secara umum bisa diterima secara industri,” demikian tutur Bayu.Nah, untuk mengatasi keadaan seperti itu riset internal menjadi satu pilihan terbaik. Sebagaimana yang dilakukan U-FM sendiri. “Kami punya riset sendiri di berbagai hal, terutama dari data base SMS,” imbuh Myra.Hal serupa juga diaplikasikan Sonora FM Jakarta. ”Kami punya data berapa banyak mereka yang merespon dalam acara tertentu yang kemudian kami kumpulkan,” Andrey Andoko, Marketing Manager Sonora menuturkan. Data-data riset internal seperti itulah yang biasanya ditawarkan pihaknya kepada pengiklan. Tapi sayangnya, diakui Andrey, hasilnya masih belum memuaskan.Jadikan CerminSikap ragu sebagian pelaku industri radio di Indonesia terhadap riset media seperti itu memang sah-sah saja. Kepercayaan terhadap hasil riset memang relatif. Ini mengingat riset radio di Indonesia terbilang muda, dibanding usia industri ini yang sudah berumur tiga dekade lebih. Nielsen sendiri mulai melakukan riset radio pada 1997, namun kemudian terhenti hingga pada 2001 kembali mulai melakukan riset radio.Salah satu problem mengapa mereka jarang melakukan riset maupun memanfaatkan data riset dari lembaga riset media di luar dikarenakan harga data dan biaya riset yang terbilang mahal. Sekali riset, pelaku indsutri bisa mengeluarkan biaya belasan hingga puluhan juta. Tapi itu pun relatif. Riset bisa dibilang mahal bila ternyata data hasil riset medianya ternyata buruk di mata mereka. Sebaliknya bisa dikatakan murah bila hasil risetnya juga bagus dan bisa menjual.Karena itu banyak radio yang mengandalkan riset internalnya sendiri. Bisa memakan biaya yang tidak terlalu besar memang. Hanya saja sejauhmana validitas hasil riset itu bisa dipercaya tergantung metode riset yang digunakan. Tapi akan komprehensif bila hasil riset internal dilengkapi data riset independen yang dilakukan lembaga riset media. Ada upaya saling melengkapi.Nielsen sendiri menegaskan bahwa data riset medianya tidak bisa dijadikan satu-satunya alat atau benchmarking dalam memasarkan media. Riset internal radio tetap sah-sah saja dijadikan alat pemasarannya. Tapi kalau ada penggabungan data pihaknya dengan data riset internal bukan berarti data itu saling terkait.“Bukan berarti kami merasa hal itu sebagai kompetisi, karena masing-masing data itu kan jelas berbeda,” kata Ika. Dirinya hanya mengingatkan jangan sampai hasil riset internal malah dijadikan bahan untuk menilai buruk data riset hasil lembaga riset media independen. “Karena justru hal itu akan memperburuk keadaan industri,” jelasnya.Sikap apatis pelaku bisnis radio terhadap riset media tampaknya harus dijadikan cermin introspeksi terhadap industri radio secara keseluruhan. Pelaku bisnis radio perlu bercermin pada kalangan media lain, cetak dan televisi, yang memandang riset media begitu antusias. Data buruk mengenai media bukan berarti mereka harus memecahkan cermin data yang dipakainya.“Jangan sampai melihatnya dari sisi yang salah,” harap Manager Business Development ACNielsen Indonesia Maika Randini menambahkan.Hal sama diingatkan Ari bahwa data riset radio darimanapun asalnya tetaplah penting. Bagaimanapun data riset media berperan dalam meningkatkan kemajuan industri radio sendiri. Yang pasti, kalangan radio sejak dini musti paham bahwa riset radio menjadi bahan koreksi bagi pelaku bisnis ini. “Bukankah dengan bercermin diri kita bisa melakukan banyak hal agar penampilan kita lebih baik?” tanya Ari. Untuk menjawaba pertanyaan itu tentu tergantung industri sendiri.
Ada masalah klasik yang selama ini bergelayut di kalangan industri radio, yaitu masalah data radio. Soal satu ini hingga kini seakan menjadi momok menakutkan. Apalagi kalau data itu menyangkut eksistensi jumlah pendengar radio, tak jarang pemilik radio yang “tersinggung” dengan data tersebut menampik apa yang tercantum di dalamnya. Berbagai alasan dikemukakan. Tidak heran bila data-data yang terkait dengan industri radio darimanapun datangnya disikapi dengan apatis.Data yang dihasilkan Nielsen Media Research (NMR) misalnya, hingga kini tak sedikit pengelola radio yang alergi dengannya. Apalagi kalau nama radionya tidak tampil atau data yang tertera sedikit kurang menguntungkan, sikap reaktif pun bermunculan.Beli Data Aspal?Ironisnya, di tengah sikap alergi seperti itu, tak sedikit pengelola radio yang sempat terkecoh oleh adanya data-data radio yang terkesan asli tapi pada kenyataannya data itu palsu (aspal). Jual beli data “aspal” itu dilakukan orang-orang yang tak bertanggungjawab dengan niat mendongkrak prestis radio yang diincarnya. Data-data itu menyampaikan informasi kuantitatif yang prestisius sebagaimana diminta pengelola radio bersangkutan. Dengan kata lain, informasi data itu bisa menguntungkan radio tersebut di mata pengiklan. Parahnya, oknum penjual data meyakinkan pembeli data bahwa data yang dijualnya berdasarkan survei yang dilakukannya dan diakuinya data tersebut data yang “tersisa” dari survei yang dilakukan Nielsen. Praktek seperti ini sempat tersebar di sebagian kalangan pelaku bisnis radio.Praktek jual beli data aspal yang mengatasnamakan Nielsen ini tentu saja cukup meresahkan.Diakui Ika Jatmikasari, Senior Manager – Client Service ACNielsen Indonesia, kejadian serupa pernah dialami Nielsen sekitar dua tahun lalu. Tapi pada waktu itu kejadian tersebut bisa diklarifikasi dan pelaku jual beli data aspal itu sudah dituntut Nielsen.Menanggapi kabar terbaru yang berkembang di kalangan komunitas bisnis radio komersial tersebut, Ika menegaskan agar pelaku industri radio tidak percaya begitu saja dengan penawaran tersebut. Pasalnya, Nielsen selalu bersikap tegas dan hati-hati terhadap mereka yang memerlukan data media Nielsen. Ika menyarankan agar pebisnsi radio sebaiknya melakukan cek legalitas dan client service yang menawarkan data tersebut. “Kalau ada keraguan pemilik media terhadap orang yang mengaku menjual data Nielsen, silakan cek ke sini karena client service kami hanya ada tujuh orang,” Ika kembali menyarankan.Ditegaskannya pula bahwa selama ini untuk memperoleh data Nielsen, pengguna data harus mengikat kontrak kerjasama dengan Nielsen.Salah satu kontrak itu menegaskan bahwa data-data yang menyangkut pemilik media hanya boleh digunakan olehnya dan oleh si kliennya yang mana data itu diperoleh dari si pemilik perangkat lunak tersebut, dalam hal ini Nielsen sendiri. “Data tersebut tidak boleh diperjualbelikan kepada pihak lain,” tegas Ika mengingatkan.Terlebih bila data itu hanya berkaitan dengan kebutuhan pemilik media semata (customized data), dalam hal ini pemilik radio, Ika menginformasikan bahwa Nielsen akan membantu pihak radio tersebut mulai dari metodologi yang digunakan, respondennya siapa, area surveinya di mana dan bahkan siapa client service Nielsen yang in-charge di radio bersangkutan. Semua itu dilakukan secara transparan sesuai kemauan pemilik radio.”Klien yang berhak menentukan karena mereka yang bayar,” papar Ika.Menanggapi adanya kasus tersebut menunjukkan lemahnya kontrol Nielsen atas data media yang ada, Ika menyanggahnya. Masalah kontrol, diakuinya agak sulit dilakukan karena praktek jual beli data “aspal” seperti itu di luar jangkauannya.Andalkan Riset InternalKasus seperti itu sebenarnya juga mencerminkan bahwa banyak pihak yang begitu berkepentingan dengan bisnis radio saat ini, termasuk dalam hal ini kalangan lembaga riset media. Di mata Ari Maricar, salah seorang konsultan manajemen radio di Jawa Timur, keadaan seperti harus dipahami kalangan pelaku bisnis radio. Pasalnya, menurut Ari, para pelaku industri radio dengan seluruh aktivitas yang dimilikinya hingga kini belum mampu menjawab kebutuhan para pemangku kepentingan tersebut.“Riset menyangkut media radio berada pada lingkup perhatian yang tidak terlampau luas bagi publik,” begitu pengamatan Ari. Kepedulian atas riset media radio hingga sekarang tidak mengalami pergeseran. Paling-paling hanya terkait pada kebutuhan penyelenggara radio dan pengguna jasa iklan radio. “Tapi, ironisnya, di tingkat penyelenggara radio tidak banyak yang peduli terhadap angka-angka hasil penelitian khalayak media radio,” jelas Ari menyesalkan.Apa yang dikemukakan Ari ada benarnya. Hampir sebagian besar pelaku bisnis radio masih minim menggunakan data riset radio yang dikeluarkan lembaga riset media yang ada. Kebanyakan lebih suka melakukan riset yang dilakukan secara internal. Kalaupun ada data dari lembaga riset media independen, itupun sekadar pelengkap semata.“Kami pelanggan Nielsen walaupun saya tidak terlalu mempercayainya,” demikian pengakuan Myra Suroso, General Manager U-FM. Ketidakpercayaan itu menurutnya dikarenakan sampai saat ini belum ada tolak ukur yang sama di lingkungan industri radio untuk memandang riset radio independen.Hal senada diungkapkan Bimo Bayu D. Nimpuno, Service & Marketing Director Radio Republik Indonesia (RRI). “Kita memang nggak punya data yang secara umum bisa diterima secara industri,” demikian tutur Bayu.Nah, untuk mengatasi keadaan seperti itu riset internal menjadi satu pilihan terbaik. Sebagaimana yang dilakukan U-FM sendiri. “Kami punya riset sendiri di berbagai hal, terutama dari data base SMS,” imbuh Myra.Hal serupa juga diaplikasikan Sonora FM Jakarta. ”Kami punya data berapa banyak mereka yang merespon dalam acara tertentu yang kemudian kami kumpulkan,” Andrey Andoko, Marketing Manager Sonora menuturkan. Data-data riset internal seperti itulah yang biasanya ditawarkan pihaknya kepada pengiklan. Tapi sayangnya, diakui Andrey, hasilnya masih belum memuaskan.Jadikan CerminSikap ragu sebagian pelaku industri radio di Indonesia terhadap riset media seperti itu memang sah-sah saja. Kepercayaan terhadap hasil riset memang relatif. Ini mengingat riset radio di Indonesia terbilang muda, dibanding usia industri ini yang sudah berumur tiga dekade lebih. Nielsen sendiri mulai melakukan riset radio pada 1997, namun kemudian terhenti hingga pada 2001 kembali mulai melakukan riset radio.Salah satu problem mengapa mereka jarang melakukan riset maupun memanfaatkan data riset dari lembaga riset media di luar dikarenakan harga data dan biaya riset yang terbilang mahal. Sekali riset, pelaku indsutri bisa mengeluarkan biaya belasan hingga puluhan juta. Tapi itu pun relatif. Riset bisa dibilang mahal bila ternyata data hasil riset medianya ternyata buruk di mata mereka. Sebaliknya bisa dikatakan murah bila hasil risetnya juga bagus dan bisa menjual.Karena itu banyak radio yang mengandalkan riset internalnya sendiri. Bisa memakan biaya yang tidak terlalu besar memang. Hanya saja sejauhmana validitas hasil riset itu bisa dipercaya tergantung metode riset yang digunakan. Tapi akan komprehensif bila hasil riset internal dilengkapi data riset independen yang dilakukan lembaga riset media. Ada upaya saling melengkapi.Nielsen sendiri menegaskan bahwa data riset medianya tidak bisa dijadikan satu-satunya alat atau benchmarking dalam memasarkan media. Riset internal radio tetap sah-sah saja dijadikan alat pemasarannya. Tapi kalau ada penggabungan data pihaknya dengan data riset internal bukan berarti data itu saling terkait.“Bukan berarti kami merasa hal itu sebagai kompetisi, karena masing-masing data itu kan jelas berbeda,” kata Ika. Dirinya hanya mengingatkan jangan sampai hasil riset internal malah dijadikan bahan untuk menilai buruk data riset hasil lembaga riset media independen. “Karena justru hal itu akan memperburuk keadaan industri,” jelasnya.Sikap apatis pelaku bisnis radio terhadap riset media tampaknya harus dijadikan cermin introspeksi terhadap industri radio secara keseluruhan. Pelaku bisnis radio perlu bercermin pada kalangan media lain, cetak dan televisi, yang memandang riset media begitu antusias. Data buruk mengenai media bukan berarti mereka harus memecahkan cermin data yang dipakainya.“Jangan sampai melihatnya dari sisi yang salah,” harap Manager Business Development ACNielsen Indonesia Maika Randini menambahkan.Hal sama diingatkan Ari bahwa data riset radio darimanapun asalnya tetaplah penting. Bagaimanapun data riset media berperan dalam meningkatkan kemajuan industri radio sendiri. Yang pasti, kalangan radio sejak dini musti paham bahwa riset radio menjadi bahan koreksi bagi pelaku bisnis ini. “Bukankah dengan bercermin diri kita bisa melakukan banyak hal agar penampilan kita lebih baik?” tanya Ari. Untuk menjawaba pertanyaan itu tentu tergantung industri sendiri.
No comments:
Post a Comment